Indonesia adalah sebuah bangsa yang multilingual, di Indonesia terdapat ratusan bahasa-bahasa daerah yang memperkaya khazanah kebahasaan di tanah air, salah satunya bahasa Jawa yang mempunyai jumlah penutur terbesar di Indonesia. Setiap bahasa yang ada di Nusantara ini tentunya sarat dengan kebudayaanya masing-masing seperti cerita legenda, dongen, karya sastra dan bahkan lagu-lagu.
Dahulu, mungkin kita sering mendengar anak anak kecil atau bahkan orang tua kita menyanyikan lagu Sluku-Sluku Bathok untuk kita, lagu dengan bahasa Jawa yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga ini adalah salah satu warisan dari khasanah kebudayaan Jawa yang menjadi salah satu penyumbang keanekaragaman kebudayaan nasional. Jika kita kaji lirik lagu yang menjadi salah satu cara dakwah untuk menyebarkan islam di tanah Jawa oleh Wali Songo ini secara seksama, lagu ini mempunyai pesan-pesan moral yang mendidik dan sebenarnya jauh tidak kalah bagusnya dari pada lagu-lagu musiman dari band-band jaman sekarang.
Lagu tersebut sarat dengan muatan moral dan mengandung nilai estetika yang tinggi serta jauh berbeda sekali bila dibandingkan dengan lagu-lagu pop musiman jaman sekarang seperti Wali Band dan sejenisnya yang sekarang mempengaruhi alam bawah sadar anak-anak Jawa dan lagu-lagu itu jelas kurang mempunyai pesan-pesan yang mendidik. Namun nampaknya nasib lagu Sluku-Sluku Bathok dan lagu berbahasa Jawa lainya kurang begitu mujur di tanah asalnya, sekarang anak anak Jawa lebih fasih menyanyikan lagu-lagu pop semusim seperti Wali band dan band-band serupa dibanding menyanyikan lagu lagu Jawa seperti Sluku-Sluku Bathok apa lagi Macapat. Lagu-lagu berbahasa Jawa kurang begitu mengena di telinga anak-anak sekarang yang setiap hari disuguhi lagu-lagu pop semusim yang diputar di berbagai media seperti radio dan televisi, bahkan mungkin hampir mustahil menemukan koleksi lagu-lagu Jawa di handphone atau di komputer anak-anak Jawa sekarang.
Gejala Kebocoran diglosia
Hilangnya minat anak anak Jawa terhadap lagu-lagu berbahasa Jawa salah satunya disebabkan minimnya kosakata dan penguasaan bahasa jawa. Beberapa anak berusia belasan tahun di Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta yang saya temui umumnya mereka tidak mengenal apa lagi menyanyikan lagu Sluku-Sluku Bathok tersebut. Dari sini kita bisa melihat kemunduran budaya Jawa yang tidak hanya dari menurunya peminat lagu-lagu jawa tetapi juga berkurangnya penutur bahasa Jawa. Yang lebih mengenaskan lagi, masyarakat jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi salah satu pusat dan acuan kebudayaan Jawa di tanah air ini ternyata turut berpatisipasi dalam merontokan penutur bahasa Jawa, sebagian besar orang tua di Yogyakarta yang notabene seratus persen keturunan Jawa sekalipun, sudah tidak lagi mengajarkan bahasa Jawa ke anak-anak mereka sebagai bahasa pergaulan sehari hari di lingkup keluarga, entah dengan alasan gengsi atau nasionalisme mereka hanya mengajarkan bahasa Indonesia yang nantinya juga akan diajarkan di sekolah sebagai bahasa pergaulan di dalam rumah dan banyak pula dijumpai orang tua yang tidak memperbolehkan anak-anaknya berbicara bahasa Jawa sekalipun dengan teman sejawat.
Dalam ilmu linguistik, fenomena kebahasaan seperti ini disebut kebocoran diglosia yang akan membawa pada kematian bahasa tertentu. Peristiwa ini terjadi dimana bahasa yang dianggap kurang berprestise (low) lama kelamaan kalah dan tidak dituturkan lagi karena pengaruh dari bahasa yang lebih superior (high). Pengeritian diglosia itu sendiri menurut Kridalaksana (2003:44) adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi diberi status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, variasi lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan. Menurut Richard dan Schmidt (2002), peristiwa diglosia adalah ketika ada dua bahasa atau variasi-variasi bahasa ada secara berdampingan dalam sebuah komunitas dan masing-masing bahasa digunakan untuk tujuan yang berbeda. Ferguson (1964) juga menambahkan bahwa peristiwa diglosia muncul melalui adanya proses belajar melalui pendidikan formal.
Apabila kita mengacu pada teori diglosia dalam masyarakat yang bilingual, kekhawatiran orang tua Jawa yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya dengan alasan takut nantinya anak-anak mereka dianggap kampungan atau ndeso karena bertutur Jawa sebenarnya kurang beralasan. Bahasa indonesia nantinya dengan sendiri akan mereka kuasai di sekolah dan karena bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa pengantar pendidikan yang diakui secara resmi di negara ini.
Sekarang ini bahasa jawa sudah sudah menunjukan kemunduranya, bukti-bukti yang menunjukan kemunduran tersebut dapat dilihat dari penutur dan aspek-aspek kebudayaanya seperti lunturnya tata krama layaknya orang Jawa. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan beberapa orang tua yang saya kenali di Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta, disimpulkan bahwasanya mereka memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya dengan alasan bahasa Indonesia lebih dianggap berprestise dan tidak terkesan ndeso. Berkaca pada peristiwa di atas, bukan barang yang mustahil lagi jika dua puluh tahun mendatang kita sudah tidak mendengar lagi orang orang berbicara bahasa Krama Inggil yang menjadi salah satu pembeda bahasa Jawa dengan bahasa lain, karena bahasa jawa mempunyai strata-strata sosial berdasarkan siapa yang berbicara, kapan dan kepada siapa berbicara.
Eksistensi bahasa jawa dihadapkan pada permasalah antara gengsi dan nasionalisme. Di satu sisi bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang diakui dan sebagai bahasa persatuan yang digunakan dalam pergaulan nasional untuk mempertahankan kesatuan NKRI, sedangkan bahasa Jawa posisinya sebagai pelengkap atau pendukung dari keanekaragaman budaya Indonesia dan jelas statusnya tidak akan berubah. Namun ini bukan permasalahan merubah status bahasa Jawa sebagai bahasa resmi nasional tetapi bagaimana mempertahankan bahasa Jawa agar tetap berkontribusi dalam memperkaya khasanah kebudayaan nasional, karena justru dengan bertahanya bahasa Jawa di republik ini maka akan menjadikan kebinekaan Indonesia tetap terjaga dengan kuat.
Di mata dunia, Indonesia adalah negara yang besar dan terkenal akan keanekaragaman budayanya. Seandainya bahasa Jawa yang sedang terancam kepunahanya ini sudah tidak diajarkan lagi oleh para orang tua yang mengaku bersuku Jawa kepada anak-anaknya dan tidak lagi dituturkan oleh generasi muda Jawa sekarang, maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan kehilangan salah satu penyumbang yang selama ini cukup banyak berkontribusi dalam kebinekaan Indonesia. Kita seharusnya bangga terhadap apa yang kita miliki dan tidak perlu menangis jika Reog Ponorogo diakui Malaysia. Kalau bukan kita yang menyelamatkan bahasa Jawa, lalu siapa lagi?.
Kesimpulan
Sebagai masyarakat yang cerdas seharusnya kita dapat menempatkan penggunaan bahasa-bahasa tersebut dengan bijaksana. Masing-masing bahasa dalam masyarakat multilingual, memiliki peran, kedudukan dan fungsi yang berbeda (Holmes, 1992:37). Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan dalam ranah kebudayaan dan pergaulan internal sesama suku Jawa, sedangkan bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi antar suku dan penelaahan ilmu pengetahuan serta pemerintahan dalam pergaulan nasional. Dengan kebijaksanaan kita dalam menggunakan bahasa dengan benar tentunya generasi-generasi muda kita akan lebih mengenal kebudayaannya dan kebocoran diglosia yang membawa pada kematian sebuah bahasa tidak akan terjadi di Indonesia dan tanah Jawa pada khusunya.
0 comments:
Post a Comment