This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, October 3, 2010

Sejarah Nama ‘Amerika’ (America)


Banyak sejarah yang rancu mengenai penemu benua Amerika, sebagian mengklaim bahwa penemu benua Amerika adalah serorang Portugis bernama Joao vas de Corte Real pada tahun 1472. Namun, tidak banyak masyarakat dunia yang mengetahui tentang sejarah tersebut, mereka hanya mengenal Christoper Colombus yang datang di benua tersebut pada tahun 1492. Dalam hal ini, kita tidak akan membicarakan siapa sebenarnya penemu benua Amerika melainkan dari mana asal muasal nama ‘Amerika’ itu lahir.
Konon Colombus ditugaskan oleh pihak kerajaan Spanyol untuk melakukan ekspedisi menjelajah bumi dengan menggunakan kapal ekspedisi yang dibiayai oleh kerajaan Spanyol. Dalam perjalannya, Kapal tersebut sempat singgah beberapa kali di berbagai tempat di Asia di antaranya di pulau Jawa sebelum melanjutkan perjalanya menemukan benua yang lebih besar. Dalam persinggahan kapal Colombus di tanah Jawa, Ketua ekspedisi tersebut merekrut beberapa penduduk setempat untuk menjadi awak kapal ekspedisi, termasuk di antaranya adalah penduduk pulau Jawa. Salah satu awak kapal dari Banyumas menempati posisi sebagai peneropong yang kemudian diminta untuk melaporkan hasil peneroponganya di atas dek kapal kepada Colombus mengenai keadaan di depan kapal guna memperlancar perjalanan. Colombus juga meminta agar si awak tersebut memberitahu jika ada daratan di depan arah kapal tersebut.
Pada suatu ketika, dalam peneropongannya, awak kapal tersebut melihat sebuah daratan yang sangat luas, lalu bergegas turun dari atas dek dan memanggil Colombus untuk melihat hasil peneroponganya. Dengan gembiranya, Colombus pun bergegas naik ke atas dek kapal dan menanyakan kepada si awak tersebut, “di mana daratan itu” lalu sambil menunjuk daratan tersebut si awak tersebut secara berulang-ulang menjawab “Amrika....!!!!” “ Amrika...!!!” “Amrika....!”(maksudnya adalah ‘di sana’), kemudian secara spontan Colombus menamai daratan tersebut dengan nama “Amerika”.
Dari cerita di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa asal usul nama ‘Amerika’ adalah dari bahasa Jawa Banyumas ‘Amrika’ yang berarti ‘di sana’,. Tidak terbayangkan jika Colombus merekrut awak kapal dari Jogja atau Solo mungkin benua tersebut sudah bernama ‘Ameriko’

Sunday, September 5, 2010

Fenomena sosiolinguistik yang terjadi di Marthasvineyard, Ucieda, dan Ballymacaret


Berikut uraian fenomena sosiolinguitis yang terdapat di beberapa daerah seperti Marthasvineyard, Ucieda, dan Ballymacarrett:
a. Marthasvineyard
Marthasvineyard merupakan sebuah pulau kecil sekitar tiga mil lepas pantai Massachusetts. Pada hari libur, pulau ini di penuhi oleh wisatawan dari Boston dan New York. Penduduk tetap dipulau itu berjumlah 6000 jiwa, namun di setiap musim panas pulau ini dibanjiri oleh pengunjung yang lebih banyak daripada jumlah penduduk setempat, sekitar tujuh banding satu. Meskipun pendapatan mereka tergantung kepada wisatawan, namun mereka sangat membenci wisatawan, dan sikap mereka direfleksikan pada bahasa yang digunakan oleh penduduk vineyard. linguistik survei menunjukkan bahwa sikap-sikap ini tercermin dari cara mereka melafalkan kata light dan house, terjadi perubahan bunyi pada pelafalan vokal di kosakata tersebut secara bertahap menjadi lebih ketengah/terpusat, hingga light dilafalkan [lit] (bunyinya sedikit menyerupai seperti layeet), dan house dilafalkan [hus] (bunyinya menyerupai seperti heyoose). Perubahan bunyi yang tampaknya terjadi secara tidak sadar ini telah berubah kearah pelafalan yang konservatif, karena perubahan bunyinya mengarah pada bentuk yang pernah digunakan dimasa lampau yang kemudian tidak pernah digunakan lagi, namun direvitalisasi sebagai bentuk ungkapan solidaritas di antara mereka sebagai penduduk asli pulau, dan sebagai bentuk kesetiaan pada nilai-nilai kehidupan pedesaan serta gaya hidup sederhana nan damai.
Fenomena ini secara eksplisit mengilustrasikan bagaimana segi vernakular memperoleh makna sosial dan menyebar melalui komunitas, lalu menjadi penanda status mereka sebagai anggota masyarakat setempat, yakni sebagai penduduk vineyard (vineyarder).
b. Ucieda
Ucieda adalah salah satu desa kecil di spanyol dekat provinsi Santander. Di desa ini, laki-laki terpaksa mencari istri diluar desanya, hal ini disebabkan banyak perempuan desa tidak mau menikah dengan pekerja lokal yang berternak sapi perah, karena mereka tidak ingin tetap tinggal di desa pertanian tersebut. ‘Terjebak’ tinggal dirumah seperti ibu mereka, dengan berternak sapi dan mengasuh anak bagi mereka merupakan hal yang sangat tidak menarik.
Tuturan perempuan merefleksikan aspirasi sosial mereka, mereka lebih banyak menggunakan bahasa kastilia (castilian) standar dengan pelafalan /o/ di akhir kata, dan sedikit sekali perempuan yang melafalkan /u/ di akhir kata dibandingkan dengan laki-laki.
Pada umumnya, tuturan perempuan di Ucieda lebih dekat kepada bentuk standar atau lafal yang berprestise dibandingkan dengan laki-laki. Bentuk standar yang digunakan para perempuan di desa ini merupakan pengaruh perbedaan gaya hidup yang mereka lihat dalam pekerjaan yang digeluti, baik sebagai juru masak pada keluarga kelas atas, maupun sebagai pelajar di universitas. Mereka menggunakan lebih banyak bentuk-bentuk standar dengan orang-orang di luar desa, dan secara bertahap memperluas bentuk-bentuk ini sepanjang pertuturan mereka, hal tersebut tidak hanya merefleksikan kontak sosial mereka, juga merefleksikan nilai dan aspirasi mereka. Hal yang menarik di sini adalah perempuan banyak memperkenalkan variasi-variasi yang berprestise dalam tuturan Ucieda.
c. Ballymacaret
Ballymacarrett merupakan salah satu wilayah di Belfast, tepatnya di sebuah daerah penganut protestan di sebelah timur sungai Lagan di Belfast, Irlandia Utara. Di wilayah ini, sedikit sekali laki-laki yang berstatus pengangguran, hal ini dikarenakan stabilnya lapangan pekerjaan di galangan kapal lokal.
Fenomena sosiolinguistis yang ada di ballymacarrett ditemukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Milroy, ia meneliti beberapa aspek pertuturan di tiga wilayah buruh yang ada di Belfast, salah satunya di wilayah Ballymacarrett, di daerah tersebut terdapat korelasi yang signifikan antara variabel dan kekuatan jaringan sosial, karena semakin besar jaringan sosial yang ada di masyarakat, semakin besar pula variasi-variasi bahasa bentuk non-standar (vernacular) yang digunakan dalam berinteraksi. Kekuatan jaringan sosial yang ada di Ballymacarret berkorelasi dengan penggunaan bahasa sehari-hari, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa non-standar. Mereka sering mendelesi th [] pada kata mother dan brother, mereka juga melafalkan man dengan [mo:n], dan map dengan [ma:p].
Fenomena sosiolinguistis lain yang diamati di Ballymacarrett adalah ditemukan perbedaan penggunaan variasi bahasa yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Penggunaan bentuk vernakular pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan bentuk vernakular pada perempuan, karena jaringan sosial perempuan di Ballymacarrett lebih tertutup dibanding laki-laki. Fenomena yang menarik adalah perempuan selalu mengacu pada penggunaan bahasa standar sedangkan laki-laki mendominasi penggunaan bentuk vernakular.

Pemertahanan bahasa, perpindahan bahasa, kehilangan bahasa, dan kematian bahasa

Keempat topik di atas yang menjadi pokok bahasan kali ini masih berkaitan dengan masalah kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Berikut akan diuraikan secara rinci mengenai fenomena-fenomena kebahasan tersebut di atas.
a. Pemertahanan bahasa
Pemertahanan bahasa adalah usaha agar suatu bahasa tetap dipakai dan dihargai, terutama sebagai identitas kelompok, dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan melalui pengajaran, kesusastraan, media massa, dan sebagainya (Kridalaksana, 2001:159). Sering dijumpai kasus kebahasan dalam masyarakat bahwa penggunaan B1 oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat adanya B2 yang lebih yang mempunyai fungsi yang lebih superior. Namun dalam contoh kasus bahasa tertentu, ada bahasa yang sanggup bertahan dari ‘tekanan’ bahasa yang lebih dominan. Penelitian yang dilakukan Sumarsono (dalam Chaer dan Agustina) berikut akan memaparkan bagaimana bahasa Melayu Loloan di Bali mampu bertahan di tengah bahasa Bali yang lebih dominan.
Penduduk desa Loloan, Bali berjumlah tiga ribu jiwa dan tidak menggunakan bahasa Bali melainkan bahasa Melayu Loloan, sebagai B1 dan mereka semua beagama Islam. Di tengah bahasa B2 yang lebih dominan, yaitu bahasa Bali, mereka dapat bertahan untuk tetap menggunakan menggunakan bahasa pertamanya, yaitu bahasa Melayu Loloan, sejak abad ke-18 yang lalu, ketika leluhur mereka yang mengaku berasal dari Bugis dan Pontianank tiba di tempat itu. Menurut Sumarsono (1990) ada beberapa Faktor yang menyebabkan masyarakat penutur bahasa Melayu Loloan dapat mempertahankan bahasa mereka, yaitu:
• Wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada suatu tempat yang secara geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali.
• Adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, meskipun dalam berinteraksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali.
• Anggota masyarakat Loloan memiliki sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali
• Anggota masyarakat Loloan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap bahasa mereka, karena mereka mengganggap bahwa bahasa Melayu Loloan merupakan lambang identitas masyarakat Loloan yang beragama islam.
Berdasarkan faktor-faktor diatas, masyarakat melayu Loloan mampu mempertahankan bahasa mereka terhadap bahasa Bali yang lebih dominan.
b. Perpindahan bahasa
Perpindahan bahasa atau yang kerap juga disebut pergeseran bahasa (language shift) menurut Kridalaksana (2001) adalah perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari, terutama akibat dari migrasi. Chaer dan Agustian (2004) menambahkan bahwa Perpindahan bahasa merupakan hal yang berkaitan dengan masalah penggunaan bahasa oleh seorang atau sekelompok penutur yang bisa terjadi, akibat perpindahan dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. pada umumnya, pergeseran bahasa terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang menjanjikan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang para imigran atau transmigran untuk datang ke tempat-tempat tersebut dengan harapan untuk mendapat kehidupan yang tentunya lebih baik dari sebelumnya.
Ada beberapa faktor utama yang menjadi penyebab pergeseran bahasa yaitu faktor migrasi, ekonomi, sosial, dan politik. Berikut akan diruaikan mengenai beberapa faktor penyebab pergeseran bahasa tersebut.
Faktor ekonomi menduduki peranan penting sebagai faktor utama pendorong perpindahan bahasa, sebagai contohnya seperti yang dilaporkan Ayatrohaedi (dalam Chaer dan Agustina) mengenai kasus bahasa Sunda di desa Legok, Indramayu, yang telah punah ditinggal para penuturnya. Sampai tahun enam puluhan penduduk desa itu masih berbahasa Sunda; tetapi sekarang mereka hanya dapat berbahasa Cirebon, sebagai akibat tidak adanya pilihan lain selain menggunakan bahasa Jawa Cirebon. Lancarnya arus transportasi ke Cirebon sehingga memudahkan mereka mendapatkan perekonomian yang lebih baik dan wilayahnya yang terkepung oleh komunitas penutur bahasa Cirebon menyebabkan mereka beralih menggunakan bahasa Cirebon untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor migrasi menduduki peran yang tidak kalah penting dalam perpindahan bahasa, arah migrasi dapat dibagi menjadi dua: pertama, beberapa kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau negara yang lain, sehingga menyebabkan bahasa mereka tidak digunakan di wilayah yang baru. Seperti yang terjadi pada kelompok-kelompok migrasi berbagai etnik di Amerika Serikat; Kedua, arah migrasi yang sebaliknya, yaitu migrasi gelombang besar penutur bahasa membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk, sehingga menyebabkan terpecahnya penduduk setempat dan pergeseran bahasa tidak lagi dapat dihindari. Hal ini banyak terjadi di berbagai wilayah di Inggris ketika industri mereka berkembang. Bahasa-bahasa kecil yang dituturkan penduduk setempat tergeser oleh bahasa Inggris yang dibawa oleh buruh industri ketempat kecil tersebut.
Pergeseran bahasa yang mengacu pada pergeseran kelompok-kelompok kecil (sedikit penutur) dan rendah status ke arah kelompok bahasa yang lebih besar dan berstatus sosial tinggi merupakan kasus pergeseran bahasa yang berhubungan dengan faktor sosial.
Sekolah juga tidak kalah berperan sebagai faktor penyebab pergeseran bahasa, karena di sekolah seseorang di ajarkan B2 yang berbeda dari bahasa ibunya, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dll.


c. Kehilangan bahasa
Pergeseran bahasa (language shift) menjadi penyebab utama kehilangan bahasa, fenomena ini merupakan efek dari perpindahan fungsi bahasa tersebut dan berlaku untuk masyarakat bilingual maupun multilingual. Proses awalnya adalah ketika sekelompok masyarakat menguasai B1, namun karena B1 memiliki peran yang sangat sedikit sekali di dalam komunikasi, sehingga jarang sekali dituturkan, peran bahasa itu kalah dengan bahasa yang dipelajari kemudian memiliki peran yang lebih kuat dalam berkomunikasi. Sehingga lama kelamaan penutur B1 sedikit demi sedikit melupakan bahasanya dan beralih ke B2.
Dalam hal tersebut diatas, Holmes memberikan contoh mengenai kehilangan bahasa seperti yang terjadi pada Annie, seorang penutur bahasa Dyirbal yang berusia 20 tahun, sebuah bahasa suku aborigin di Australia. Dyirbal adalah bahasa pertamanya (B1) lalu ia mempelajari bahasa Inggris di sekolah (B2), dan dalam keseharianya ia lebih banyak menggunakan B2 di setiap aktivitas dibanding B1. Annie dapat mengerti bahasa Dyirbal, namun hanya ia gunakan ketika Annie berkomunikasi dengan neneknya. Tidak ada tulisan dyirbal yang bisa ia baca juga tuturan Dyirbal yang bisa ia dengar, sepanjang aktivitasnya ia menuturkan dan mendengarkan bahasa Inggris, sehingga ia menjadi kurang cakap dalam menggunakan B1nya. Ia hanya mengerti ketika orang-orang tua di komunitasnya berbicara dengan bahasa itu, namun jarang sekali menuturkannya sehingga banyak kosakata dan stuktur bahasa yang terlupakan begitu saja. Dengan demikian kemampuannya dalam bahasa itu semakin berkurang dan berkurang. Bahkan neneknya sering mengatakan bahwa Annie tidak berbicara bahasa Dyirbal dengan baik.
Contoh di atas merupakan kasus yang terjadi berkaitan dengan kehilangan bahasa, Annie hanyalah salah satu contoh, karena masih banyak lagi fenomena-fenomena lain yang berkenaan dengan kehilangan bahasa.
d. Kematian bahasa
Kematian bahasa terjadi ketika suatu bahasa sudah tidak memiliki penutur, memang hal yang sangat disayangkan jika suatu bahasa harus punah, karena bahasa tidak hanya alat komunikasi yang digunakan dalam komunitas masyarakat, lebih dari itu, di dalam suatu bahasa menyimpan khazanah budaya dan kearifan lokal tersendiri; yang kesemuanya ikut punah ketika suatu bahasa mati dan tak lagi memiliki penutur. Jika bahasa tersebut memiliki aksara, sehingga khazanah atau kearifan yang tersimpan dalam bahasa sudah didokumentasi dalam manuskrip, maka kekayaan yang ada dalam bahasa tersebut bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya meski bahasa tersebut telah mati. Akan lebih mengenaskan lagi jika suatu bahasa tidak memiliki aksara dan tradisi tulis dan kemudian punah. Sudah dipastikan bahwa bahasa dan segala yang tersimpan di dalamnya akan punah pula. Menurut Holmes (1992), proses matinya sebuah bahasa hampir sama dengan proses pergeseran bahasa. Kloss (dalam Sumarsono, 2008:286), mengatakan bahwa terdapat tipe utama kepunahan bahasa: (a) kepunahan bahasa tanpa adanya pergeseran; (b) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa; (c) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis (turunya derajat bahasa menjadi dialek dan mulai ditinggalkannya bahasa tersebut oleh para penutur.
Dalam hal ini, contoh fenomena yang terjadi bahwa pada 200 bahasa aborigin yang dituturkan di Australia, ketika eropa masuk ke daerah tersebut, sekitar 50 – 70 punah dengan seketika akibat pembunuhan masal oleh bangsa eropa juga akibat dari penyakit yang di bawa oleh bangsa tersebut yang mengakibatkan kematian para penutur bahasa. Fenomena lain adalah, punahnya bahasa Manx bahasa di sebuah pulau kecil Man, bersamaan dengan meninggalnya penutur terakhir dari bahasa itu, bernama Ned Maddrell pada tahun 1974. Dan punahnya bahasa Cornish di Cornwall bersamaan ketika penuturnya Dolly Pentreath meninggal pada tahun 1977 (Holmes, 1992:62).
Kematian sebuah bahasa tidak terjadi begitu saja, sebelum sebuah bahasa berangsur-angsur punah, terdapat proses pergeseran demi pergeseran bahasa yang penyebabnya adalah fungsi bahasa di suatu daerah diambil alih oleh bahasa lain, hal ini terjadi biasanya terhadap bahasa minoritas terhadap bahasa mayoritas, dimana bahasa mayoritas mengambil alih fungsi bahasa minoritas, sehingga hal yang tidak dapat terelakkan adalah terjadilah perpindahan bahasa yang berakhir pada kepunahan bahasa. Berbeda halnya, jika adanya kesadaran penutur, lantas masyarakat penutur tersebut mengantisipasi dengan mengadakan berbagai upaya pemertahanan bahasa sebagaimana yang telah disinggung di atas.

GEOGRAFI DIALEK DAN DIALEK GEOGRAFI

Pendahuluan
“Geografi dialek dan dialek geografi”, dua istilah ini jika tidak diperhatikan secara cermat terkesan mirip, terlihat seperti kata yang hanya dibalik saja, akan tetapi kedua frase tersebut memiliki makna yang berbeda. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada unsur DM (diterangkan-menerangkan). Frase “geografi dialek”, “dialek” menjadi kata yang menerangkan, dan kata “geografi” diterangkan. Sedangkan frase “dialek geografi” sebaliknya, “dialek” kata yang diterangkan serta merupakan head word /kata kepala dari frase tersebut, dan “geografi” kata yang menerangkan. Berikut ini adalah ulasan mengenai perbedaan antara geografi dialek dan dialek geografi.

Geografi Dialek
Geografi dialek adalah kajian terhadap beraneka ragam bentuk tuturan dalam suatu bahasa. para ahli geografi dialek biasanya mengumpulkan dalam peta bahasa penjelasan yang menyajikan hasil temuan yang berkaitan dengan beragam variasi ciri-ciri linguistik yang ada (Lehmann, 1972:112). Geografi dialek merupakan cabang kajian linguistik yang bertujuan mengkaji semua gejala kebahasaan secara cermat yang disajikan berdasarkan peta bahasa yang ada. Karena itu salah satu tujuan umum dalam kajian ini yaitu memetakan gejala kebahasaan dari semua data yang diperoleh dalam daerah penelitian. (Ayatrohaedi, 1985:58; Francis, 1983:110; Chambers, 1980:103).
Dubois dalam Ayatrohaedi menambahkan, Geografi dialek adalah kajian dalam bidang ilmu dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut (Dubois dkk di dalam Ayatrohaedi, 1979:28).
Gorys Keraf menyatakan bahwa geografi dialek merupakan salah satu dari dua sub-cabang dialektologi, yaitu Geografi Dialek dan Sosiolinguistik. Adapun Sosiolinguistik, kajian yang mempelajari variasi bahasa berdasarkan pola-pola kemasyarakatan. Sedangkan geografi dialek merupakan kajian yang mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa (Keraf, 1984:143).

Dialek Geografi
Dialek geografi merupakan cabang dari ‘pembagian’ dialek secara umum, yakni dialek geografi dan sosial geografi. Jika sosial geografi merupakan variasi pemakaian bahasa yang disebabkan oleh perbedaan kelompok sosial penutur. Lantas dialek geografi adalah variasi pemakaian bahasa yang ditentukan oleh perbedaan wilayah pemakaian. dialek sosial bahasa Jawa misalnya, terlihat pada pemakaian tingkat tutur. Sedangkan Dialek geografi pada bahasa Jawa, tercermin melalui perbedaan pemakaian bahasa jawa diwilayah Yogyakarta-Surakarta dengan pemakaian di Banyumas atau wilayah lain (Wedhawati dan Arifin, http://books.google.co.id
Kridalaksana (2008:48) mengartikan dialek geografi (geographical dialect, regional dialect) sebagai dialek yang ciri-cirinya dibatasi oleh tempat; mis. dialek Melayu Menado, dialek Jawa Banyumas. Di samping dialek regional, dialek juga dibagi menjadi dialek sosial dan dialek temporal. Dialek sosial (social dialect) adalah dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu; mis. dialek wanita dalam Bahasa Jepang. Dialek temporal (temporal dialect, state of language) adalah dialek dari bahasa-bahasa yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, mis. apa yang lazim disebut Bahasa Melayu Kuna, Bahasa Melayu Klasik, dan Bahasa Melayu Modern masing-masing adalah dialek temporal dari Bahasa Melayu.
Kesimpulan
Dari berbagai pengertian diatas, secara jelas menunjukkan perbedaan antara geografi dialek dan dialek geografi. Geografi dialek merupakan suatu bidang kajian dalam dialektologi yang mempelajari hubungan antar ragam bahasa, dan merupakan suatu bidang ilmu yang mewadahi penelitian ragam-ragam bahasa, dengan menggunakan dialektometri sebagai ukuran secara statistik untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat penelitian bahasa atau dialek berlangsung dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti, yang kemudian disimpulkan bahasa tersebut hanya berupa ragam dari satu bahasa atau sudah berupa dua bahasa yang berbeda disertai dengan salah satu metode penelitian, pertama: metode pupuan sinurat; dan kedua, dengan metode pupuan lapangan. Sedangkan Dialek geografi merupakan cabang dari dialek, yakni bahasa yang variasi penggunaannya dibedakan oleh wilayah pemakaian.

Etnis Arab di Pemalang dan Pengaruhnya Terhadap Kebudayaan Setempat

Bangsa Arab merupakan bangsa penjelajah, terbukti dengan dijumpainya berbagai kelompok etnis Arab di hampir seluruh benua di berbagai belahan dunia mulai dari Eropa, Asia, Amerika, Afrika dan Australia.
Kedatangan bangsa Arab ke Indonesia pertama kali dimulai pada sekitar abad 7 Masehi atas maksud berdagang dan syiar Islam. Bangsa Arab datang secara bergelombang, mereka umumnya menempati daerah pesisir-pesisir pantai dan pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Aceh, Sunda Kelapa, Surabaya, Ujung Pandang, Ternate, dan lain-lain. Seperti halnya daerah pesisir pantai lainya, pantai utara Jawa di daerah karesidenan Pekalongan khususnya di kabupaten Pemalang yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa juga tedapat kelompok pendatang etnis Arab yang bermukim di wilayah tersebut. Mereka membawa kebudayaan-kebudayaan yang mereka punyai ke wilayah yang mereka singgahi itu.
Menurut koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri dengan belajar. Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut oleh Herskovits sebagai superorganic.
Apakah akibat dari pengaruh kebudayaan asing yang dibawa oleh etnis Arab terhadap kebudayan di Pemalang?
Secara administratif, kabupaten Pemalang termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Seperti wilayah Jawa pada umumnya, Penduduk pribumi Pemalang adalah etnis Jawa. Akan tetapi kenyataanya ada sebagian penduduk di kabupaten ini yang bukan termasuk etnis Jawa dan seringkali dijumpai etnis Arab mendiami wilayah tersebut dan sudah menjadi warga Pemalang. Hal ini menujukan bahwa bangsa Arab sudah lama memasuki wilayah itu.
Fakta yang dapat ditemukan adalah adanya pemukiman etnis Arab yang berlokasi di desa Mulyoharjo, kecamatan Pemalang dan di desa Banyumudal, kecamatan Moga, karena banyaknya etnis arab yang bermukim di wilayah tersebut sehingga wilayah tersebut dinamakan “Kampung Arab”. Di Pemalang, etnis Arab membentuk kolompok-kelompok berdasarkan hubungan familistik. Mereka menyebutnya dengan kata ‘fam’ (keluarga). Ada dua golongan besar yang mengklasifikasikan fam-fam tersebut, yaitu kelompok “Syeh” dan “Habaib”. Dari dua golongan itu dapat diuraikan beberapa fam, yang dapat melacak asal-usul nenek moyang mereka. fam-fam yang berasal dari golongan “Syeh” berasal dari negara Yaman, seperti fam dari Bin Sanad, bin Basunbul, bin An-Nahdi, bin Yazidi, bin Al-Khatiri, dan bin Niswir, sedangkan fam-fam yang berasal dari golongan “Habaib” menganggap diri mereka adalah keturunan Rasulullah dari Siti Fatimah, mereka berasal dari Iran dan Iraq, fam-fam tersebut adalah fam bin Alatas, bin Assegaf, bin Baalwi.
Etnis Arab di Pemalang membentuk kelompok dan bermukim di wilayah yang sama. Etnis Arab di Pemalang hanya mendiami wilayah perkotaan di kabupaten itu dan hampir tidak ditemui etnis Arab yang bermukim di wilayah pedesaan. Mereka umumnya mencari nafkah dengan cara berdagang, sebagain besar dari mereka membuka toko seperti mebel dan menjadi sangat familiar bahwa umumnya toko-toko mebel yang terkenal di Pemalang dimiliki oleh etnis Arab. jarang sekali dijumpai mereka bertani ataupun beternak. Etnis Jawa di Pemalang sebagian besar diantaranya bertani dan sebagian lainya menjadi pegawai swasta dan tidak jarang mereka menjadi pegawai negeri baik militer maupun sipil. Hampir tidak pernah dijumpai adanya etnis Arab yang menjadi pegawai negeri.
Kebudayaan Etnis Arab di Pemalang yang bisa dilihat adalah adanya tradisi ‘mauludan’ dan ‘syawalan’. Mauludan yaitu ritual memperingati kelahiran Rasulullah Muhammad SAW, sedangkan ‘syawalan’ yang dimaksud yaitu sebuah ritual tahunan pada bulan Syawal. Ritual ini diadakan dengan berkumpulnya seluruh anggota fam-fam etnis Arab di satu tempat, tepatnya di obyek wisata Pemandian Moga yang terletak di kecamatan Moga di bagian selatan Pemalang. Di sini mereka berkumpul dan memperkenalkan anggota keluarga yang satu dengan yang lain, umumnya ritual ini dimanfaatkan mereka sebagai ajang perjodohan masal.
Selain kebudayaan yang berbentuk ritual, di Pemalang, etnis Arab meneruskan kebiasaan yang dibawanya dari tanah nenek moyangnya dengan membuat berbagai jenis makanan khas seperti “roti Maryam”, “azid”, dan “nasi kebuli”. Ciri khas lain dari etnis Arab yang mencerminkan kebudayaan mereka adalah dalam hal berbahasa dan berpakaian. Wanita etnis Arab di Pemalang menggunakan “busana muslim” yaitu dengan menutup seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan yang laki-laki mengenakan “gamis”.
Pemalang adalah sebuah kabupaten yang mempunyai dua karateristik geografis yang berlainan. Sebelah utara kabupaten ini berupa daerah pantai karena secara langsung berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan di bagian selatan kabupaten ini merupakan daerah pegunungan yang cukup tinggi dan merupakan daerah lereng Gunung Slamet. Berdasarkan teori ecocultural, yaitu ilmu yang mempelajari pengaruh timbal-balik dari lingkungan alam terdapat dan tingkah-laku makhluk-makhluk di suatu lokasi tertentu di muka bumi, dengan karakteristik keadaan alam yang sedemikian itulah kabupaten ini mempunyai keanekaragaman budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain.
Budaya asli Pemalang pada umumnya sama seperti kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya, hanya agak sedikit berbeda pada keanekaragamanya. Di Pemalang terdapat dua kebudayaan yaitu kebudayaan masyarakat Jawa Pesisir utara dan kebudayaan masyarakat Jawa di daerah Pegunungan. Masyarakat Pemalang berbahasa Jawa dengan dialek Banyumas dan sebagian menggunakan dialek Pekalongan.

Adanya etnis Arab di Pemalang diawali dengan bermukimnya berbagai etnis Arab di Indramayu dan Brebes yang kemudian menyebar ke wilayah Tegal yang berbatasan langsung dengan Pemalang di sebelah barat. Bertambahnya jumlah etnis Arab di Tegal dan dorongan ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih layak, menyebabkan mereka menyebar ke arah timur yaitu Pekalongan dan melewati Pemalang. Di Pemalang sendiri, beberapa kelompok etnis Arab tersebut membuat pemukiman-pemukiman baru berdasarkan hubungan familistik, ada juga sebagian dari mereka yang bermukim secara terpisah dari kelompok yang tinggal di suatu pemukiman tertentu dan membaur dengan masyarakat pribumi Pemalang.
Etnis Arab yang tinggal berkelompok membawa dan melestarikan kebudayaan yang mereka punyai di wilayah yang baru tersebut. Sebagian besar dari mereka beradaptasi dengan belajar bahasa Jawa dan adat istiadat setempat, contoh nyata yang dapat dilihat adalah adanya sebagian etnis Arab yang membuat makanan asli Jawa seperti “samir”, yang oleh masyarakat Pemalang disebut “kamir”. Kegiatan ini bahkan menjadi mata pencaharian sebagian penduduk etnis Arab di perkampungan Arab di desa Mulyoharjo. Akibat dari pesatnya perkembangan industri pembuatan “kamir” tersebut di perkampungan Arab tersebut, sekarang, “kamir” menjadi oleh-oleh khas kuliner dari Pemalang dan masyarakat pribumi Pemalang menyebutnya dengan nama “kamir Arab”, karena memang yang membuat adalah orang Arab, walaupun itu adalah makanan asli masyarakat Jawa.
Masyarakat Pemalang pada umumnya sangat menerima keberadaan etnis Arab dan berbagai bentuk kebudayaan yang dibabawanya, terbukti dengan tidak adanya konflik SARA diantara mereka. Penduduk pribumi Pemalang dalam pergaulanya tidak membeda-bedakan etnis-etnis tertentu termasuk etnis Arab, mereka berinteraksi dengan baik dalam bisnis seperti berdagang maupun kegiatan sosial. Sebagai bentuk dari penerimaan yang baik terhadap bentuk kebudayaan etnis Arab di Pemalang, penduduk pribumi Pemalang yang beragama Islam sering mengikuti acara “mauludan” yang diadakan oleh etnis Arab, dan bahkan sekarang, di kalangan masyarakat pribumi Pemalang, “mauludan” sudah menjadi bagian dari ritual kebudayaan umat Islam di Pemalang.
Sering ditemukan hal-hal menjadi bukti bahwa Masyarakat Pemalang khususnya yang berada di wilayah Perkampungan etnis Arab, seperti pemakaian bahasa oleh masyarakat setempat. Menurut Kontjaraningrat (1990), adanya gerak migrasi dari bangsa-bangsa yang membawa unsur-unsur kebudayaan mereka untuk mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan asli bangsa-bangsa yang mereka jumpai di daerah-daerah yang mereka lalui ketika bermigrasi, sengingga menyebabkan perubahan-perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan itu (difusi). Jika dikaitkan dengan teori difusi tersebut, memang sangat beralasan sekali, bahwa di perkampungan Arab di desa Banyumudal, masyarakat pribumi pemalang terkadang menggunakan kosakata yang sering dipakai oleh etnis Arab di wilayah tersebut seperti kata ente untuk ‘kamu’, harim untuk ‘wanita’, fulus untuk ‘uang’, bahil untuk ‘pelit’, bahlul untuk ‘jahat’, dan masih banyak lagi.
Dapat disimpulkan bahwa etnis Arab dan kebudayaanya di Pemalang dapat diterima dengan baik di tengah penduduk pribumi Pemalang. Kebudayaan Arab di Pemalang tidak mempengaruhi dan mengubah kebudayaan yang sudah ada, namun hanya menambah khazanah kebudayaan yang ada. Budaya di suatu daerah bisa dikatakan dapat mempengaruhi daerah lain (baik segi bahasa maupun lainnya). Proses masuknya suatu budaya ke kebudayaan lain tergantung dari minoritas penduduk daerah yang dimasuki. Apakah mereka menerima adanya imigran, dan apakah daerah tersebut memperbolehkan masuknya imigran asing. Tapi hal ini juga tergantung dari siapakah dan apakah maksud imigran-imigran terdahulu itu masuk ke daerah mereka.

Saturday, September 4, 2010

Sebuah Kajian Tentang Pembentukan Bahasa Indonesia Menurut Teori Pijin Dan Kreole


Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan untuk menyatakan suatu pesan dari si penutur kepada si pendengar. Bahasa merupakan sesuatu yang sistematis dan terstruktur secara linguistik. Bahasa terbentuk dan berkembang dari hubungan sosial masyarakat secara alamiah bukan dari rancangan para profesor ataupun komputer secara matematis. Dari beragamnya penutur-penutur bahasa maka sudah pasti akan memunculkan variasi-variasi bahasa baru. Dalam kajian linguistik, contoh-contoh variasi bahasa diantaranya adalah pijin dan kreol. Beberapa ahli bahasa di Indonesia berpendapat bahwa bahasa Indonesia termasuk dalam kategori kreol dan sebagian mengatatakan bahasa Indonesia bukanlah kreole ataupun pijin. Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama kali kita harus benar-benar memahami apa yang disebut pijin dan kreol serta bagaimana proses berkembangnya. Kedua, ketika seseorang menyebut suatu bahasa itu kreol atau pijin dan mungkin juga bukan keduanya, maka seharusnya terlebih dahulu bahasa tersebut telah terbukti secara historis tentang asal-usulnya


Pijin andalah bahasa pertama yang berkembang sebagai alat komunikasi antar dua kelompok atau lebih dan dengan kata lain merupakan bentuk bahasa kontak yang digunakan oleh orang orang yang berlatar belakang bahasa yang berbeda beda. Pijin merupakan bahasa marginal yang muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunikasi tertentu diantara orang yang tidak mempunyai bahasa pokok tersebut. Bahasa ini juga biasa disebut “bahasa dagang” karena sering digunakan oleh para pedagang yang belainan latarbelakang bahasanya. Dalam proses transaksinya mereka menggunakan bahasa baru atau pijin ini untuk mempermudah proses jual beli mereka. Namun bahasa ini juga hanya dimengerti oleh kelompok yang membuat bahasa tersebut saja. Sebuah pijin tidak mempunyai standarisasi, otonomi, historisitas, dan vitalitas.


Kreol muncul ketika pijin tersebut menjadi bahasa ibu dari komunitas penutur tersebut. Pada mulanya bahasa ini mempunyai kosa kata yang sederhana dan diambil dari bahasa yang dominan atau bahasa induk yang menjadi akar terbentuknya bahasa pijin. Namun, ketika mengalami proses kreolisasi, tata bahasanya mengalami perkembangan sehingga menjadi bahasa yang stabil dan telepas dari bahasa induknya. Bahasa ini terus memperkaya kosakata-kosakata yang berasal dari para penutur pijin tersebut.


Berkembangnya kreol dari sebuah pijin dengan dua cara yaitu ketika para penutur dari bahasa pijin tersebut berada dalam posisi dimana mereka tidak bisa lagi berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibu mereka masing masing dan ketika sebuah pijin menjadi sangat berguna sebagai lingua franca dan bahkan digunakan oleh orang-orang yang mempunyai bahasa ibu yang sama. Sebagai contohnya adalah para orang tua yang secara ekstensif menggunakan pijin dalam percakapan sehari-hari baik di pasar, kantor, ataupun tempat umum dan bahkan digunakan di dalam rumah. Dari sinilah anak anak mempelajarinya sebagai salah satu bahasa ibu mereka.


Bahasa indonesia adalah bahasa nasional bangsa Indonesia yang tertuang dalam supah pemuda 28 Oktober 1928 dan di sahkan dalam pasal 36, UUD 1945. Bahasa ini diambil dari bahasa Melayu Pustaka atau Melayu Tinggi di Riau.

Untuk meneliti lebih jauh tentang hakikat bahasa Indonesia, penelusuran historis suatu bahasa memiliki peranan yang sangat penting dan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Untuk itulah kita harus membuka kembali sejarah bahasa yang menjadi akar bahasa indonesia yaitu dengan menelusuri perkembangan bahasa Melayu abad ketujuh, zaman Sriwijaya, dan perkembanganya sebagai lingua franca mulai dari pelabuhan-pelabuhan di India sebelah barat sampai ke wilayah Maluku sebelah timur, hingga pada zaman kolonial Belanda.

Menurut fakta yang dikemukakan oleh Kridalaksana (1990); bahwa bahasa Melayu Pustaka atau Melayu tinggi tersebut ketika sebelum diangkat menjadi bahasa Indonesia, bahasa ini sudah melalui standarisasi yang distandarkan oleh Ch. A. Van Ophuijsen, seorang sarjana Belanda. Bahasa Melayu ini sudah digunakan dalam sistem pendidikan di sekolah-sekolah kolonial Belanda dan Ketika diangkat menjadi bahasa Indonesia dalam sumpah pemuda tahun 1928 bahasa Melayu telah merupakan bahasa penuh (full-fledged language) dan menjadi bahasa ibu dari masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera sebelah timur, Riau dan Kalimantan; dan bahasa ini puntelah mempunyai kesusastraan.

Disamping bahasa Melayu yang full-fledged itu terdapat pula variasi lain yang disebut bahasa Melayu Pasar yang digunakan oleh pedagang-pedagang China, dan oleh orang-orang Belanda dalam berbicara dengan orang orang pribumi yang dijajahnya. Bahasa melayu pasar ini jelas merupakan pijin. Terdapat pula sejumlah kreole yang berdasar bahasa Melayu, seperti bahasa Melayu Manado, Melayu Timor, dan Melayu Ambon, yang hingga kini tidak mempunyai kesusastraan. Dialek dialek Melayu yang nonstandar juga tersebar di mana-mana seperti dialek Melayu Langkat, Melayu Deli, dan Melayu Jakarta. Begitu juga dialek-dialek regional yang ada di semenanjung Malaya dan masyarakat bukan Melayu di Indonesia sudah mengenal bahasa Melayu, baik yang berupa bahasa Melayu Pasar maupun yang berupa Melayu Tinggi (=standar) yang diajarkan di sekolah-sekolah.


Secara keseluruhan kalau kita kaitkan antara sejarah bahasa Indonesia dengan gambaran sebuah pijin ataupun kreole, jelas sangat berbeda sekali dan disamping itu bahasa-bahasa pijin dan kreole tersebut tidak memiliki dasar standarisasi, otonomi, historisitas dan vitalitas. Walaupun sebuah kreole mempunya dasar vitalitas. Bahasa Indonesia bukanlah pijin ataupun kreol, karena jelas dalam prosesnya tidak melahirkan bahasa baru. Peranan pijin dan kreole yang berdasarkan bahasa Melayu, dan adanya dialek-dialek regional memudahkan penerimaan, penumbuhan, dan penyebaran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.




Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. And Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Collins. James T. 2009. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama

Sumarsono, 2002. Sosiolinguistik.Yogyakarta; Pustaka Pelajar

Todd, Loreto. 1974. Pidgins and Creloes. London and Boston: Routledge and Kegan Paul.


Wali Band vs Wali Songo ; Fenomena Kebocoran Diglosia

Indonesia adalah sebuah bangsa yang multilingual, di Indonesia terdapat ratusan bahasa-bahasa daerah yang memperkaya khazanah kebahasaan di tanah air, salah satunya bahasa Jawa yang mempunyai jumlah penutur terbesar di Indonesia. Setiap bahasa yang ada di Nusantara ini tentunya sarat dengan kebudayaanya masing-masing seperti cerita legenda, dongen, karya sastra dan bahkan lagu-lagu.

Dahulu, mungkin kita sering mendengar anak anak kecil atau bahkan orang tua kita menyanyikan lagu Sluku-Sluku Bathok untuk kita, lagu dengan bahasa Jawa yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga ini adalah salah satu warisan dari khasanah kebudayaan Jawa yang menjadi salah satu penyumbang keanekaragaman kebudayaan nasional. Jika kita kaji lirik lagu yang menjadi salah satu cara dakwah untuk menyebarkan islam di tanah Jawa oleh Wali Songo ini secara seksama, lagu ini mempunyai pesan-pesan moral yang mendidik dan sebenarnya jauh tidak kalah bagusnya dari pada lagu-lagu musiman dari band-band jaman sekarang.

Lagu tersebut sarat dengan muatan moral dan mengandung nilai estetika yang tinggi serta jauh berbeda sekali bila dibandingkan dengan lagu-lagu pop musiman jaman sekarang seperti Wali Band dan sejenisnya yang sekarang mempengaruhi alam bawah sadar anak-anak Jawa dan lagu-lagu itu jelas kurang mempunyai pesan-pesan yang mendidik. Namun nampaknya nasib lagu Sluku-Sluku Bathok dan lagu berbahasa Jawa lainya kurang begitu mujur di tanah asalnya, sekarang anak anak Jawa lebih fasih menyanyikan lagu-lagu pop semusim seperti Wali band dan band-band serupa dibanding menyanyikan lagu lagu Jawa seperti Sluku-Sluku Bathok apa lagi Macapat. Lagu-lagu berbahasa Jawa kurang begitu mengena di telinga anak-anak sekarang yang setiap hari disuguhi lagu-lagu pop semusim yang diputar di berbagai media seperti radio dan televisi, bahkan mungkin hampir mustahil menemukan koleksi lagu-lagu Jawa di handphone atau di komputer anak-anak Jawa sekarang.

Gejala Kebocoran diglosia

Hilangnya minat anak anak Jawa terhadap lagu-lagu berbahasa Jawa salah satunya disebabkan minimnya kosakata dan penguasaan bahasa jawa. Beberapa anak berusia belasan tahun di Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta yang saya temui umumnya mereka tidak mengenal apa lagi menyanyikan lagu Sluku-Sluku Bathok tersebut. Dari sini kita bisa melihat kemunduran budaya Jawa yang tidak hanya dari menurunya peminat lagu-lagu jawa tetapi juga berkurangnya penutur bahasa Jawa. Yang lebih mengenaskan lagi, masyarakat jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi salah satu pusat dan acuan kebudayaan Jawa di tanah air ini ternyata turut berpatisipasi dalam merontokan penutur bahasa Jawa, sebagian besar orang tua di Yogyakarta yang notabene seratus persen keturunan Jawa sekalipun, sudah tidak lagi mengajarkan bahasa Jawa ke anak-anak mereka sebagai bahasa pergaulan sehari hari di lingkup keluarga, entah dengan alasan gengsi atau nasionalisme mereka hanya mengajarkan bahasa Indonesia yang nantinya juga akan diajarkan di sekolah sebagai bahasa pergaulan di dalam rumah dan banyak pula dijumpai orang tua yang tidak memperbolehkan anak-anaknya berbicara bahasa Jawa sekalipun dengan teman sejawat.

Dalam ilmu linguistik, fenomena kebahasaan seperti ini disebut kebocoran diglosia yang akan membawa pada kematian bahasa tertentu. Peristiwa ini terjadi dimana bahasa yang dianggap kurang berprestise (low) lama kelamaan kalah dan tidak dituturkan lagi karena pengaruh dari bahasa yang lebih superior (high). Pengeritian diglosia itu sendiri menurut Kridalaksana (2003:44) adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi diberi status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, variasi lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan. Menurut Richard dan Schmidt (2002), peristiwa diglosia adalah ketika ada dua bahasa atau variasi-variasi bahasa ada secara berdampingan dalam sebuah komunitas dan masing-masing bahasa digunakan untuk tujuan yang berbeda. Ferguson (1964) juga menambahkan bahwa peristiwa diglosia muncul melalui adanya proses belajar melalui pendidikan formal.

Apabila kita mengacu pada teori diglosia dalam masyarakat yang bilingual, kekhawatiran orang tua Jawa yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya dengan alasan takut nantinya anak-anak mereka dianggap kampungan atau ndeso karena bertutur Jawa sebenarnya kurang beralasan. Bahasa indonesia nantinya dengan sendiri akan mereka kuasai di sekolah dan karena bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa pengantar pendidikan yang diakui secara resmi di negara ini.

Sekarang ini bahasa jawa sudah sudah menunjukan kemunduranya, bukti-bukti yang menunjukan kemunduran tersebut dapat dilihat dari penutur dan aspek-aspek kebudayaanya seperti lunturnya tata krama layaknya orang Jawa. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan beberapa orang tua yang saya kenali di Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta, disimpulkan bahwasanya mereka memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya dengan alasan bahasa Indonesia lebih dianggap berprestise dan tidak terkesan ndeso. Berkaca pada peristiwa di atas, bukan barang yang mustahil lagi jika dua puluh tahun mendatang kita sudah tidak mendengar lagi orang orang berbicara bahasa Krama Inggil yang menjadi salah satu pembeda bahasa Jawa dengan bahasa lain, karena bahasa jawa mempunyai strata-strata sosial berdasarkan siapa yang berbicara, kapan dan kepada siapa berbicara.

Eksistensi bahasa jawa dihadapkan pada permasalah antara gengsi dan nasionalisme. Di satu sisi bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang diakui dan sebagai bahasa persatuan yang digunakan dalam pergaulan nasional untuk mempertahankan kesatuan NKRI, sedangkan bahasa Jawa posisinya sebagai pelengkap atau pendukung dari keanekaragaman budaya Indonesia dan jelas statusnya tidak akan berubah. Namun ini bukan permasalahan merubah status bahasa Jawa sebagai bahasa resmi nasional tetapi bagaimana mempertahankan bahasa Jawa agar tetap berkontribusi dalam memperkaya khasanah kebudayaan nasional, karena justru dengan bertahanya bahasa Jawa di republik ini maka akan menjadikan kebinekaan Indonesia tetap terjaga dengan kuat.

Di mata dunia, Indonesia adalah negara yang besar dan terkenal akan keanekaragaman budayanya. Seandainya bahasa Jawa yang sedang terancam kepunahanya ini sudah tidak diajarkan lagi oleh para orang tua yang mengaku bersuku Jawa kepada anak-anaknya dan tidak lagi dituturkan oleh generasi muda Jawa sekarang, maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan kehilangan salah satu penyumbang yang selama ini cukup banyak berkontribusi dalam kebinekaan Indonesia. Kita seharusnya bangga terhadap apa yang kita miliki dan tidak perlu menangis jika Reog Ponorogo diakui Malaysia. Kalau bukan kita yang menyelamatkan bahasa Jawa, lalu siapa lagi?.

Kesimpulan

Sebagai masyarakat yang cerdas seharusnya kita dapat menempatkan penggunaan bahasa-bahasa tersebut dengan bijaksana. Masing-masing bahasa dalam masyarakat multilingual, memiliki peran, kedudukan dan fungsi yang berbeda (Holmes, 1992:37). Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan dalam ranah kebudayaan dan pergaulan internal sesama suku Jawa, sedangkan bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi antar suku dan penelaahan ilmu pengetahuan serta pemerintahan dalam pergaulan nasional. Dengan kebijaksanaan kita dalam menggunakan bahasa dengan benar tentunya generasi-generasi muda kita akan lebih mengenal kebudayaannya dan kebocoran diglosia yang membawa pada kematian sebuah bahasa tidak akan terjadi di Indonesia dan tanah Jawa pada khusunya.