This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, October 3, 2010

Sejarah Nama ‘Amerika’ (America)


Banyak sejarah yang rancu mengenai penemu benua Amerika, sebagian mengklaim bahwa penemu benua Amerika adalah serorang Portugis bernama Joao vas de Corte Real pada tahun 1472. Namun, tidak banyak masyarakat dunia yang mengetahui tentang sejarah tersebut, mereka hanya mengenal Christoper Colombus yang datang di benua tersebut pada tahun 1492. Dalam hal ini, kita tidak akan membicarakan siapa sebenarnya penemu benua Amerika melainkan dari mana asal muasal nama ‘Amerika’ itu lahir.
Konon Colombus ditugaskan oleh pihak kerajaan Spanyol untuk melakukan ekspedisi menjelajah bumi dengan menggunakan kapal ekspedisi yang dibiayai oleh kerajaan Spanyol. Dalam perjalannya, Kapal tersebut sempat singgah beberapa kali di berbagai tempat di Asia di antaranya di pulau Jawa sebelum melanjutkan perjalanya menemukan benua yang lebih besar. Dalam persinggahan kapal Colombus di tanah Jawa, Ketua ekspedisi tersebut merekrut beberapa penduduk setempat untuk menjadi awak kapal ekspedisi, termasuk di antaranya adalah penduduk pulau Jawa. Salah satu awak kapal dari Banyumas menempati posisi sebagai peneropong yang kemudian diminta untuk melaporkan hasil peneroponganya di atas dek kapal kepada Colombus mengenai keadaan di depan kapal guna memperlancar perjalanan. Colombus juga meminta agar si awak tersebut memberitahu jika ada daratan di depan arah kapal tersebut.
Pada suatu ketika, dalam peneropongannya, awak kapal tersebut melihat sebuah daratan yang sangat luas, lalu bergegas turun dari atas dek dan memanggil Colombus untuk melihat hasil peneroponganya. Dengan gembiranya, Colombus pun bergegas naik ke atas dek kapal dan menanyakan kepada si awak tersebut, “di mana daratan itu” lalu sambil menunjuk daratan tersebut si awak tersebut secara berulang-ulang menjawab “Amrika....!!!!” “ Amrika...!!!” “Amrika....!”(maksudnya adalah ‘di sana’), kemudian secara spontan Colombus menamai daratan tersebut dengan nama “Amerika”.
Dari cerita di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa asal usul nama ‘Amerika’ adalah dari bahasa Jawa Banyumas ‘Amrika’ yang berarti ‘di sana’,. Tidak terbayangkan jika Colombus merekrut awak kapal dari Jogja atau Solo mungkin benua tersebut sudah bernama ‘Ameriko’

Sunday, September 5, 2010

Fenomena sosiolinguistik yang terjadi di Marthasvineyard, Ucieda, dan Ballymacaret


Berikut uraian fenomena sosiolinguitis yang terdapat di beberapa daerah seperti Marthasvineyard, Ucieda, dan Ballymacarrett:
a. Marthasvineyard
Marthasvineyard merupakan sebuah pulau kecil sekitar tiga mil lepas pantai Massachusetts. Pada hari libur, pulau ini di penuhi oleh wisatawan dari Boston dan New York. Penduduk tetap dipulau itu berjumlah 6000 jiwa, namun di setiap musim panas pulau ini dibanjiri oleh pengunjung yang lebih banyak daripada jumlah penduduk setempat, sekitar tujuh banding satu. Meskipun pendapatan mereka tergantung kepada wisatawan, namun mereka sangat membenci wisatawan, dan sikap mereka direfleksikan pada bahasa yang digunakan oleh penduduk vineyard. linguistik survei menunjukkan bahwa sikap-sikap ini tercermin dari cara mereka melafalkan kata light dan house, terjadi perubahan bunyi pada pelafalan vokal di kosakata tersebut secara bertahap menjadi lebih ketengah/terpusat, hingga light dilafalkan [lit] (bunyinya sedikit menyerupai seperti layeet), dan house dilafalkan [hus] (bunyinya menyerupai seperti heyoose). Perubahan bunyi yang tampaknya terjadi secara tidak sadar ini telah berubah kearah pelafalan yang konservatif, karena perubahan bunyinya mengarah pada bentuk yang pernah digunakan dimasa lampau yang kemudian tidak pernah digunakan lagi, namun direvitalisasi sebagai bentuk ungkapan solidaritas di antara mereka sebagai penduduk asli pulau, dan sebagai bentuk kesetiaan pada nilai-nilai kehidupan pedesaan serta gaya hidup sederhana nan damai.
Fenomena ini secara eksplisit mengilustrasikan bagaimana segi vernakular memperoleh makna sosial dan menyebar melalui komunitas, lalu menjadi penanda status mereka sebagai anggota masyarakat setempat, yakni sebagai penduduk vineyard (vineyarder).
b. Ucieda
Ucieda adalah salah satu desa kecil di spanyol dekat provinsi Santander. Di desa ini, laki-laki terpaksa mencari istri diluar desanya, hal ini disebabkan banyak perempuan desa tidak mau menikah dengan pekerja lokal yang berternak sapi perah, karena mereka tidak ingin tetap tinggal di desa pertanian tersebut. ‘Terjebak’ tinggal dirumah seperti ibu mereka, dengan berternak sapi dan mengasuh anak bagi mereka merupakan hal yang sangat tidak menarik.
Tuturan perempuan merefleksikan aspirasi sosial mereka, mereka lebih banyak menggunakan bahasa kastilia (castilian) standar dengan pelafalan /o/ di akhir kata, dan sedikit sekali perempuan yang melafalkan /u/ di akhir kata dibandingkan dengan laki-laki.
Pada umumnya, tuturan perempuan di Ucieda lebih dekat kepada bentuk standar atau lafal yang berprestise dibandingkan dengan laki-laki. Bentuk standar yang digunakan para perempuan di desa ini merupakan pengaruh perbedaan gaya hidup yang mereka lihat dalam pekerjaan yang digeluti, baik sebagai juru masak pada keluarga kelas atas, maupun sebagai pelajar di universitas. Mereka menggunakan lebih banyak bentuk-bentuk standar dengan orang-orang di luar desa, dan secara bertahap memperluas bentuk-bentuk ini sepanjang pertuturan mereka, hal tersebut tidak hanya merefleksikan kontak sosial mereka, juga merefleksikan nilai dan aspirasi mereka. Hal yang menarik di sini adalah perempuan banyak memperkenalkan variasi-variasi yang berprestise dalam tuturan Ucieda.
c. Ballymacaret
Ballymacarrett merupakan salah satu wilayah di Belfast, tepatnya di sebuah daerah penganut protestan di sebelah timur sungai Lagan di Belfast, Irlandia Utara. Di wilayah ini, sedikit sekali laki-laki yang berstatus pengangguran, hal ini dikarenakan stabilnya lapangan pekerjaan di galangan kapal lokal.
Fenomena sosiolinguistis yang ada di ballymacarrett ditemukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Milroy, ia meneliti beberapa aspek pertuturan di tiga wilayah buruh yang ada di Belfast, salah satunya di wilayah Ballymacarrett, di daerah tersebut terdapat korelasi yang signifikan antara variabel dan kekuatan jaringan sosial, karena semakin besar jaringan sosial yang ada di masyarakat, semakin besar pula variasi-variasi bahasa bentuk non-standar (vernacular) yang digunakan dalam berinteraksi. Kekuatan jaringan sosial yang ada di Ballymacarret berkorelasi dengan penggunaan bahasa sehari-hari, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa non-standar. Mereka sering mendelesi th [] pada kata mother dan brother, mereka juga melafalkan man dengan [mo:n], dan map dengan [ma:p].
Fenomena sosiolinguistis lain yang diamati di Ballymacarrett adalah ditemukan perbedaan penggunaan variasi bahasa yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Penggunaan bentuk vernakular pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan bentuk vernakular pada perempuan, karena jaringan sosial perempuan di Ballymacarrett lebih tertutup dibanding laki-laki. Fenomena yang menarik adalah perempuan selalu mengacu pada penggunaan bahasa standar sedangkan laki-laki mendominasi penggunaan bentuk vernakular.

Pemertahanan bahasa, perpindahan bahasa, kehilangan bahasa, dan kematian bahasa

Keempat topik di atas yang menjadi pokok bahasan kali ini masih berkaitan dengan masalah kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Berikut akan diuraikan secara rinci mengenai fenomena-fenomena kebahasan tersebut di atas.
a. Pemertahanan bahasa
Pemertahanan bahasa adalah usaha agar suatu bahasa tetap dipakai dan dihargai, terutama sebagai identitas kelompok, dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan melalui pengajaran, kesusastraan, media massa, dan sebagainya (Kridalaksana, 2001:159). Sering dijumpai kasus kebahasan dalam masyarakat bahwa penggunaan B1 oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat adanya B2 yang lebih yang mempunyai fungsi yang lebih superior. Namun dalam contoh kasus bahasa tertentu, ada bahasa yang sanggup bertahan dari ‘tekanan’ bahasa yang lebih dominan. Penelitian yang dilakukan Sumarsono (dalam Chaer dan Agustina) berikut akan memaparkan bagaimana bahasa Melayu Loloan di Bali mampu bertahan di tengah bahasa Bali yang lebih dominan.
Penduduk desa Loloan, Bali berjumlah tiga ribu jiwa dan tidak menggunakan bahasa Bali melainkan bahasa Melayu Loloan, sebagai B1 dan mereka semua beagama Islam. Di tengah bahasa B2 yang lebih dominan, yaitu bahasa Bali, mereka dapat bertahan untuk tetap menggunakan menggunakan bahasa pertamanya, yaitu bahasa Melayu Loloan, sejak abad ke-18 yang lalu, ketika leluhur mereka yang mengaku berasal dari Bugis dan Pontianank tiba di tempat itu. Menurut Sumarsono (1990) ada beberapa Faktor yang menyebabkan masyarakat penutur bahasa Melayu Loloan dapat mempertahankan bahasa mereka, yaitu:
• Wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada suatu tempat yang secara geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali.
• Adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, meskipun dalam berinteraksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali.
• Anggota masyarakat Loloan memiliki sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali
• Anggota masyarakat Loloan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap bahasa mereka, karena mereka mengganggap bahwa bahasa Melayu Loloan merupakan lambang identitas masyarakat Loloan yang beragama islam.
Berdasarkan faktor-faktor diatas, masyarakat melayu Loloan mampu mempertahankan bahasa mereka terhadap bahasa Bali yang lebih dominan.
b. Perpindahan bahasa
Perpindahan bahasa atau yang kerap juga disebut pergeseran bahasa (language shift) menurut Kridalaksana (2001) adalah perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari, terutama akibat dari migrasi. Chaer dan Agustian (2004) menambahkan bahwa Perpindahan bahasa merupakan hal yang berkaitan dengan masalah penggunaan bahasa oleh seorang atau sekelompok penutur yang bisa terjadi, akibat perpindahan dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. pada umumnya, pergeseran bahasa terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang menjanjikan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang para imigran atau transmigran untuk datang ke tempat-tempat tersebut dengan harapan untuk mendapat kehidupan yang tentunya lebih baik dari sebelumnya.
Ada beberapa faktor utama yang menjadi penyebab pergeseran bahasa yaitu faktor migrasi, ekonomi, sosial, dan politik. Berikut akan diruaikan mengenai beberapa faktor penyebab pergeseran bahasa tersebut.
Faktor ekonomi menduduki peranan penting sebagai faktor utama pendorong perpindahan bahasa, sebagai contohnya seperti yang dilaporkan Ayatrohaedi (dalam Chaer dan Agustina) mengenai kasus bahasa Sunda di desa Legok, Indramayu, yang telah punah ditinggal para penuturnya. Sampai tahun enam puluhan penduduk desa itu masih berbahasa Sunda; tetapi sekarang mereka hanya dapat berbahasa Cirebon, sebagai akibat tidak adanya pilihan lain selain menggunakan bahasa Jawa Cirebon. Lancarnya arus transportasi ke Cirebon sehingga memudahkan mereka mendapatkan perekonomian yang lebih baik dan wilayahnya yang terkepung oleh komunitas penutur bahasa Cirebon menyebabkan mereka beralih menggunakan bahasa Cirebon untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor migrasi menduduki peran yang tidak kalah penting dalam perpindahan bahasa, arah migrasi dapat dibagi menjadi dua: pertama, beberapa kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau negara yang lain, sehingga menyebabkan bahasa mereka tidak digunakan di wilayah yang baru. Seperti yang terjadi pada kelompok-kelompok migrasi berbagai etnik di Amerika Serikat; Kedua, arah migrasi yang sebaliknya, yaitu migrasi gelombang besar penutur bahasa membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk, sehingga menyebabkan terpecahnya penduduk setempat dan pergeseran bahasa tidak lagi dapat dihindari. Hal ini banyak terjadi di berbagai wilayah di Inggris ketika industri mereka berkembang. Bahasa-bahasa kecil yang dituturkan penduduk setempat tergeser oleh bahasa Inggris yang dibawa oleh buruh industri ketempat kecil tersebut.
Pergeseran bahasa yang mengacu pada pergeseran kelompok-kelompok kecil (sedikit penutur) dan rendah status ke arah kelompok bahasa yang lebih besar dan berstatus sosial tinggi merupakan kasus pergeseran bahasa yang berhubungan dengan faktor sosial.
Sekolah juga tidak kalah berperan sebagai faktor penyebab pergeseran bahasa, karena di sekolah seseorang di ajarkan B2 yang berbeda dari bahasa ibunya, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dll.


c. Kehilangan bahasa
Pergeseran bahasa (language shift) menjadi penyebab utama kehilangan bahasa, fenomena ini merupakan efek dari perpindahan fungsi bahasa tersebut dan berlaku untuk masyarakat bilingual maupun multilingual. Proses awalnya adalah ketika sekelompok masyarakat menguasai B1, namun karena B1 memiliki peran yang sangat sedikit sekali di dalam komunikasi, sehingga jarang sekali dituturkan, peran bahasa itu kalah dengan bahasa yang dipelajari kemudian memiliki peran yang lebih kuat dalam berkomunikasi. Sehingga lama kelamaan penutur B1 sedikit demi sedikit melupakan bahasanya dan beralih ke B2.
Dalam hal tersebut diatas, Holmes memberikan contoh mengenai kehilangan bahasa seperti yang terjadi pada Annie, seorang penutur bahasa Dyirbal yang berusia 20 tahun, sebuah bahasa suku aborigin di Australia. Dyirbal adalah bahasa pertamanya (B1) lalu ia mempelajari bahasa Inggris di sekolah (B2), dan dalam keseharianya ia lebih banyak menggunakan B2 di setiap aktivitas dibanding B1. Annie dapat mengerti bahasa Dyirbal, namun hanya ia gunakan ketika Annie berkomunikasi dengan neneknya. Tidak ada tulisan dyirbal yang bisa ia baca juga tuturan Dyirbal yang bisa ia dengar, sepanjang aktivitasnya ia menuturkan dan mendengarkan bahasa Inggris, sehingga ia menjadi kurang cakap dalam menggunakan B1nya. Ia hanya mengerti ketika orang-orang tua di komunitasnya berbicara dengan bahasa itu, namun jarang sekali menuturkannya sehingga banyak kosakata dan stuktur bahasa yang terlupakan begitu saja. Dengan demikian kemampuannya dalam bahasa itu semakin berkurang dan berkurang. Bahkan neneknya sering mengatakan bahwa Annie tidak berbicara bahasa Dyirbal dengan baik.
Contoh di atas merupakan kasus yang terjadi berkaitan dengan kehilangan bahasa, Annie hanyalah salah satu contoh, karena masih banyak lagi fenomena-fenomena lain yang berkenaan dengan kehilangan bahasa.
d. Kematian bahasa
Kematian bahasa terjadi ketika suatu bahasa sudah tidak memiliki penutur, memang hal yang sangat disayangkan jika suatu bahasa harus punah, karena bahasa tidak hanya alat komunikasi yang digunakan dalam komunitas masyarakat, lebih dari itu, di dalam suatu bahasa menyimpan khazanah budaya dan kearifan lokal tersendiri; yang kesemuanya ikut punah ketika suatu bahasa mati dan tak lagi memiliki penutur. Jika bahasa tersebut memiliki aksara, sehingga khazanah atau kearifan yang tersimpan dalam bahasa sudah didokumentasi dalam manuskrip, maka kekayaan yang ada dalam bahasa tersebut bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya meski bahasa tersebut telah mati. Akan lebih mengenaskan lagi jika suatu bahasa tidak memiliki aksara dan tradisi tulis dan kemudian punah. Sudah dipastikan bahwa bahasa dan segala yang tersimpan di dalamnya akan punah pula. Menurut Holmes (1992), proses matinya sebuah bahasa hampir sama dengan proses pergeseran bahasa. Kloss (dalam Sumarsono, 2008:286), mengatakan bahwa terdapat tipe utama kepunahan bahasa: (a) kepunahan bahasa tanpa adanya pergeseran; (b) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa; (c) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis (turunya derajat bahasa menjadi dialek dan mulai ditinggalkannya bahasa tersebut oleh para penutur.
Dalam hal ini, contoh fenomena yang terjadi bahwa pada 200 bahasa aborigin yang dituturkan di Australia, ketika eropa masuk ke daerah tersebut, sekitar 50 – 70 punah dengan seketika akibat pembunuhan masal oleh bangsa eropa juga akibat dari penyakit yang di bawa oleh bangsa tersebut yang mengakibatkan kematian para penutur bahasa. Fenomena lain adalah, punahnya bahasa Manx bahasa di sebuah pulau kecil Man, bersamaan dengan meninggalnya penutur terakhir dari bahasa itu, bernama Ned Maddrell pada tahun 1974. Dan punahnya bahasa Cornish di Cornwall bersamaan ketika penuturnya Dolly Pentreath meninggal pada tahun 1977 (Holmes, 1992:62).
Kematian sebuah bahasa tidak terjadi begitu saja, sebelum sebuah bahasa berangsur-angsur punah, terdapat proses pergeseran demi pergeseran bahasa yang penyebabnya adalah fungsi bahasa di suatu daerah diambil alih oleh bahasa lain, hal ini terjadi biasanya terhadap bahasa minoritas terhadap bahasa mayoritas, dimana bahasa mayoritas mengambil alih fungsi bahasa minoritas, sehingga hal yang tidak dapat terelakkan adalah terjadilah perpindahan bahasa yang berakhir pada kepunahan bahasa. Berbeda halnya, jika adanya kesadaran penutur, lantas masyarakat penutur tersebut mengantisipasi dengan mengadakan berbagai upaya pemertahanan bahasa sebagaimana yang telah disinggung di atas.

GEOGRAFI DIALEK DAN DIALEK GEOGRAFI

Pendahuluan
“Geografi dialek dan dialek geografi”, dua istilah ini jika tidak diperhatikan secara cermat terkesan mirip, terlihat seperti kata yang hanya dibalik saja, akan tetapi kedua frase tersebut memiliki makna yang berbeda. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada unsur DM (diterangkan-menerangkan). Frase “geografi dialek”, “dialek” menjadi kata yang menerangkan, dan kata “geografi” diterangkan. Sedangkan frase “dialek geografi” sebaliknya, “dialek” kata yang diterangkan serta merupakan head word /kata kepala dari frase tersebut, dan “geografi” kata yang menerangkan. Berikut ini adalah ulasan mengenai perbedaan antara geografi dialek dan dialek geografi.

Geografi Dialek
Geografi dialek adalah kajian terhadap beraneka ragam bentuk tuturan dalam suatu bahasa. para ahli geografi dialek biasanya mengumpulkan dalam peta bahasa penjelasan yang menyajikan hasil temuan yang berkaitan dengan beragam variasi ciri-ciri linguistik yang ada (Lehmann, 1972:112). Geografi dialek merupakan cabang kajian linguistik yang bertujuan mengkaji semua gejala kebahasaan secara cermat yang disajikan berdasarkan peta bahasa yang ada. Karena itu salah satu tujuan umum dalam kajian ini yaitu memetakan gejala kebahasaan dari semua data yang diperoleh dalam daerah penelitian. (Ayatrohaedi, 1985:58; Francis, 1983:110; Chambers, 1980:103).
Dubois dalam Ayatrohaedi menambahkan, Geografi dialek adalah kajian dalam bidang ilmu dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut (Dubois dkk di dalam Ayatrohaedi, 1979:28).
Gorys Keraf menyatakan bahwa geografi dialek merupakan salah satu dari dua sub-cabang dialektologi, yaitu Geografi Dialek dan Sosiolinguistik. Adapun Sosiolinguistik, kajian yang mempelajari variasi bahasa berdasarkan pola-pola kemasyarakatan. Sedangkan geografi dialek merupakan kajian yang mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa (Keraf, 1984:143).

Dialek Geografi
Dialek geografi merupakan cabang dari ‘pembagian’ dialek secara umum, yakni dialek geografi dan sosial geografi. Jika sosial geografi merupakan variasi pemakaian bahasa yang disebabkan oleh perbedaan kelompok sosial penutur. Lantas dialek geografi adalah variasi pemakaian bahasa yang ditentukan oleh perbedaan wilayah pemakaian. dialek sosial bahasa Jawa misalnya, terlihat pada pemakaian tingkat tutur. Sedangkan Dialek geografi pada bahasa Jawa, tercermin melalui perbedaan pemakaian bahasa jawa diwilayah Yogyakarta-Surakarta dengan pemakaian di Banyumas atau wilayah lain (Wedhawati dan Arifin, http://books.google.co.id
Kridalaksana (2008:48) mengartikan dialek geografi (geographical dialect, regional dialect) sebagai dialek yang ciri-cirinya dibatasi oleh tempat; mis. dialek Melayu Menado, dialek Jawa Banyumas. Di samping dialek regional, dialek juga dibagi menjadi dialek sosial dan dialek temporal. Dialek sosial (social dialect) adalah dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu; mis. dialek wanita dalam Bahasa Jepang. Dialek temporal (temporal dialect, state of language) adalah dialek dari bahasa-bahasa yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, mis. apa yang lazim disebut Bahasa Melayu Kuna, Bahasa Melayu Klasik, dan Bahasa Melayu Modern masing-masing adalah dialek temporal dari Bahasa Melayu.
Kesimpulan
Dari berbagai pengertian diatas, secara jelas menunjukkan perbedaan antara geografi dialek dan dialek geografi. Geografi dialek merupakan suatu bidang kajian dalam dialektologi yang mempelajari hubungan antar ragam bahasa, dan merupakan suatu bidang ilmu yang mewadahi penelitian ragam-ragam bahasa, dengan menggunakan dialektometri sebagai ukuran secara statistik untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat penelitian bahasa atau dialek berlangsung dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti, yang kemudian disimpulkan bahasa tersebut hanya berupa ragam dari satu bahasa atau sudah berupa dua bahasa yang berbeda disertai dengan salah satu metode penelitian, pertama: metode pupuan sinurat; dan kedua, dengan metode pupuan lapangan. Sedangkan Dialek geografi merupakan cabang dari dialek, yakni bahasa yang variasi penggunaannya dibedakan oleh wilayah pemakaian.

Etnis Arab di Pemalang dan Pengaruhnya Terhadap Kebudayaan Setempat

Bangsa Arab merupakan bangsa penjelajah, terbukti dengan dijumpainya berbagai kelompok etnis Arab di hampir seluruh benua di berbagai belahan dunia mulai dari Eropa, Asia, Amerika, Afrika dan Australia.
Kedatangan bangsa Arab ke Indonesia pertama kali dimulai pada sekitar abad 7 Masehi atas maksud berdagang dan syiar Islam. Bangsa Arab datang secara bergelombang, mereka umumnya menempati daerah pesisir-pesisir pantai dan pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Aceh, Sunda Kelapa, Surabaya, Ujung Pandang, Ternate, dan lain-lain. Seperti halnya daerah pesisir pantai lainya, pantai utara Jawa di daerah karesidenan Pekalongan khususnya di kabupaten Pemalang yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa juga tedapat kelompok pendatang etnis Arab yang bermukim di wilayah tersebut. Mereka membawa kebudayaan-kebudayaan yang mereka punyai ke wilayah yang mereka singgahi itu.
Menurut koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri dengan belajar. Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut oleh Herskovits sebagai superorganic.
Apakah akibat dari pengaruh kebudayaan asing yang dibawa oleh etnis Arab terhadap kebudayan di Pemalang?
Secara administratif, kabupaten Pemalang termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Seperti wilayah Jawa pada umumnya, Penduduk pribumi Pemalang adalah etnis Jawa. Akan tetapi kenyataanya ada sebagian penduduk di kabupaten ini yang bukan termasuk etnis Jawa dan seringkali dijumpai etnis Arab mendiami wilayah tersebut dan sudah menjadi warga Pemalang. Hal ini menujukan bahwa bangsa Arab sudah lama memasuki wilayah itu.
Fakta yang dapat ditemukan adalah adanya pemukiman etnis Arab yang berlokasi di desa Mulyoharjo, kecamatan Pemalang dan di desa Banyumudal, kecamatan Moga, karena banyaknya etnis arab yang bermukim di wilayah tersebut sehingga wilayah tersebut dinamakan “Kampung Arab”. Di Pemalang, etnis Arab membentuk kolompok-kelompok berdasarkan hubungan familistik. Mereka menyebutnya dengan kata ‘fam’ (keluarga). Ada dua golongan besar yang mengklasifikasikan fam-fam tersebut, yaitu kelompok “Syeh” dan “Habaib”. Dari dua golongan itu dapat diuraikan beberapa fam, yang dapat melacak asal-usul nenek moyang mereka. fam-fam yang berasal dari golongan “Syeh” berasal dari negara Yaman, seperti fam dari Bin Sanad, bin Basunbul, bin An-Nahdi, bin Yazidi, bin Al-Khatiri, dan bin Niswir, sedangkan fam-fam yang berasal dari golongan “Habaib” menganggap diri mereka adalah keturunan Rasulullah dari Siti Fatimah, mereka berasal dari Iran dan Iraq, fam-fam tersebut adalah fam bin Alatas, bin Assegaf, bin Baalwi.
Etnis Arab di Pemalang membentuk kelompok dan bermukim di wilayah yang sama. Etnis Arab di Pemalang hanya mendiami wilayah perkotaan di kabupaten itu dan hampir tidak ditemui etnis Arab yang bermukim di wilayah pedesaan. Mereka umumnya mencari nafkah dengan cara berdagang, sebagain besar dari mereka membuka toko seperti mebel dan menjadi sangat familiar bahwa umumnya toko-toko mebel yang terkenal di Pemalang dimiliki oleh etnis Arab. jarang sekali dijumpai mereka bertani ataupun beternak. Etnis Jawa di Pemalang sebagian besar diantaranya bertani dan sebagian lainya menjadi pegawai swasta dan tidak jarang mereka menjadi pegawai negeri baik militer maupun sipil. Hampir tidak pernah dijumpai adanya etnis Arab yang menjadi pegawai negeri.
Kebudayaan Etnis Arab di Pemalang yang bisa dilihat adalah adanya tradisi ‘mauludan’ dan ‘syawalan’. Mauludan yaitu ritual memperingati kelahiran Rasulullah Muhammad SAW, sedangkan ‘syawalan’ yang dimaksud yaitu sebuah ritual tahunan pada bulan Syawal. Ritual ini diadakan dengan berkumpulnya seluruh anggota fam-fam etnis Arab di satu tempat, tepatnya di obyek wisata Pemandian Moga yang terletak di kecamatan Moga di bagian selatan Pemalang. Di sini mereka berkumpul dan memperkenalkan anggota keluarga yang satu dengan yang lain, umumnya ritual ini dimanfaatkan mereka sebagai ajang perjodohan masal.
Selain kebudayaan yang berbentuk ritual, di Pemalang, etnis Arab meneruskan kebiasaan yang dibawanya dari tanah nenek moyangnya dengan membuat berbagai jenis makanan khas seperti “roti Maryam”, “azid”, dan “nasi kebuli”. Ciri khas lain dari etnis Arab yang mencerminkan kebudayaan mereka adalah dalam hal berbahasa dan berpakaian. Wanita etnis Arab di Pemalang menggunakan “busana muslim” yaitu dengan menutup seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan yang laki-laki mengenakan “gamis”.
Pemalang adalah sebuah kabupaten yang mempunyai dua karateristik geografis yang berlainan. Sebelah utara kabupaten ini berupa daerah pantai karena secara langsung berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan di bagian selatan kabupaten ini merupakan daerah pegunungan yang cukup tinggi dan merupakan daerah lereng Gunung Slamet. Berdasarkan teori ecocultural, yaitu ilmu yang mempelajari pengaruh timbal-balik dari lingkungan alam terdapat dan tingkah-laku makhluk-makhluk di suatu lokasi tertentu di muka bumi, dengan karakteristik keadaan alam yang sedemikian itulah kabupaten ini mempunyai keanekaragaman budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain.
Budaya asli Pemalang pada umumnya sama seperti kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya, hanya agak sedikit berbeda pada keanekaragamanya. Di Pemalang terdapat dua kebudayaan yaitu kebudayaan masyarakat Jawa Pesisir utara dan kebudayaan masyarakat Jawa di daerah Pegunungan. Masyarakat Pemalang berbahasa Jawa dengan dialek Banyumas dan sebagian menggunakan dialek Pekalongan.

Adanya etnis Arab di Pemalang diawali dengan bermukimnya berbagai etnis Arab di Indramayu dan Brebes yang kemudian menyebar ke wilayah Tegal yang berbatasan langsung dengan Pemalang di sebelah barat. Bertambahnya jumlah etnis Arab di Tegal dan dorongan ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih layak, menyebabkan mereka menyebar ke arah timur yaitu Pekalongan dan melewati Pemalang. Di Pemalang sendiri, beberapa kelompok etnis Arab tersebut membuat pemukiman-pemukiman baru berdasarkan hubungan familistik, ada juga sebagian dari mereka yang bermukim secara terpisah dari kelompok yang tinggal di suatu pemukiman tertentu dan membaur dengan masyarakat pribumi Pemalang.
Etnis Arab yang tinggal berkelompok membawa dan melestarikan kebudayaan yang mereka punyai di wilayah yang baru tersebut. Sebagian besar dari mereka beradaptasi dengan belajar bahasa Jawa dan adat istiadat setempat, contoh nyata yang dapat dilihat adalah adanya sebagian etnis Arab yang membuat makanan asli Jawa seperti “samir”, yang oleh masyarakat Pemalang disebut “kamir”. Kegiatan ini bahkan menjadi mata pencaharian sebagian penduduk etnis Arab di perkampungan Arab di desa Mulyoharjo. Akibat dari pesatnya perkembangan industri pembuatan “kamir” tersebut di perkampungan Arab tersebut, sekarang, “kamir” menjadi oleh-oleh khas kuliner dari Pemalang dan masyarakat pribumi Pemalang menyebutnya dengan nama “kamir Arab”, karena memang yang membuat adalah orang Arab, walaupun itu adalah makanan asli masyarakat Jawa.
Masyarakat Pemalang pada umumnya sangat menerima keberadaan etnis Arab dan berbagai bentuk kebudayaan yang dibabawanya, terbukti dengan tidak adanya konflik SARA diantara mereka. Penduduk pribumi Pemalang dalam pergaulanya tidak membeda-bedakan etnis-etnis tertentu termasuk etnis Arab, mereka berinteraksi dengan baik dalam bisnis seperti berdagang maupun kegiatan sosial. Sebagai bentuk dari penerimaan yang baik terhadap bentuk kebudayaan etnis Arab di Pemalang, penduduk pribumi Pemalang yang beragama Islam sering mengikuti acara “mauludan” yang diadakan oleh etnis Arab, dan bahkan sekarang, di kalangan masyarakat pribumi Pemalang, “mauludan” sudah menjadi bagian dari ritual kebudayaan umat Islam di Pemalang.
Sering ditemukan hal-hal menjadi bukti bahwa Masyarakat Pemalang khususnya yang berada di wilayah Perkampungan etnis Arab, seperti pemakaian bahasa oleh masyarakat setempat. Menurut Kontjaraningrat (1990), adanya gerak migrasi dari bangsa-bangsa yang membawa unsur-unsur kebudayaan mereka untuk mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan asli bangsa-bangsa yang mereka jumpai di daerah-daerah yang mereka lalui ketika bermigrasi, sengingga menyebabkan perubahan-perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan itu (difusi). Jika dikaitkan dengan teori difusi tersebut, memang sangat beralasan sekali, bahwa di perkampungan Arab di desa Banyumudal, masyarakat pribumi pemalang terkadang menggunakan kosakata yang sering dipakai oleh etnis Arab di wilayah tersebut seperti kata ente untuk ‘kamu’, harim untuk ‘wanita’, fulus untuk ‘uang’, bahil untuk ‘pelit’, bahlul untuk ‘jahat’, dan masih banyak lagi.
Dapat disimpulkan bahwa etnis Arab dan kebudayaanya di Pemalang dapat diterima dengan baik di tengah penduduk pribumi Pemalang. Kebudayaan Arab di Pemalang tidak mempengaruhi dan mengubah kebudayaan yang sudah ada, namun hanya menambah khazanah kebudayaan yang ada. Budaya di suatu daerah bisa dikatakan dapat mempengaruhi daerah lain (baik segi bahasa maupun lainnya). Proses masuknya suatu budaya ke kebudayaan lain tergantung dari minoritas penduduk daerah yang dimasuki. Apakah mereka menerima adanya imigran, dan apakah daerah tersebut memperbolehkan masuknya imigran asing. Tapi hal ini juga tergantung dari siapakah dan apakah maksud imigran-imigran terdahulu itu masuk ke daerah mereka.

Saturday, September 4, 2010

Sebuah Kajian Tentang Pembentukan Bahasa Indonesia Menurut Teori Pijin Dan Kreole


Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan untuk menyatakan suatu pesan dari si penutur kepada si pendengar. Bahasa merupakan sesuatu yang sistematis dan terstruktur secara linguistik. Bahasa terbentuk dan berkembang dari hubungan sosial masyarakat secara alamiah bukan dari rancangan para profesor ataupun komputer secara matematis. Dari beragamnya penutur-penutur bahasa maka sudah pasti akan memunculkan variasi-variasi bahasa baru. Dalam kajian linguistik, contoh-contoh variasi bahasa diantaranya adalah pijin dan kreol. Beberapa ahli bahasa di Indonesia berpendapat bahwa bahasa Indonesia termasuk dalam kategori kreol dan sebagian mengatatakan bahasa Indonesia bukanlah kreole ataupun pijin. Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama kali kita harus benar-benar memahami apa yang disebut pijin dan kreol serta bagaimana proses berkembangnya. Kedua, ketika seseorang menyebut suatu bahasa itu kreol atau pijin dan mungkin juga bukan keduanya, maka seharusnya terlebih dahulu bahasa tersebut telah terbukti secara historis tentang asal-usulnya


Pijin andalah bahasa pertama yang berkembang sebagai alat komunikasi antar dua kelompok atau lebih dan dengan kata lain merupakan bentuk bahasa kontak yang digunakan oleh orang orang yang berlatar belakang bahasa yang berbeda beda. Pijin merupakan bahasa marginal yang muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunikasi tertentu diantara orang yang tidak mempunyai bahasa pokok tersebut. Bahasa ini juga biasa disebut “bahasa dagang” karena sering digunakan oleh para pedagang yang belainan latarbelakang bahasanya. Dalam proses transaksinya mereka menggunakan bahasa baru atau pijin ini untuk mempermudah proses jual beli mereka. Namun bahasa ini juga hanya dimengerti oleh kelompok yang membuat bahasa tersebut saja. Sebuah pijin tidak mempunyai standarisasi, otonomi, historisitas, dan vitalitas.


Kreol muncul ketika pijin tersebut menjadi bahasa ibu dari komunitas penutur tersebut. Pada mulanya bahasa ini mempunyai kosa kata yang sederhana dan diambil dari bahasa yang dominan atau bahasa induk yang menjadi akar terbentuknya bahasa pijin. Namun, ketika mengalami proses kreolisasi, tata bahasanya mengalami perkembangan sehingga menjadi bahasa yang stabil dan telepas dari bahasa induknya. Bahasa ini terus memperkaya kosakata-kosakata yang berasal dari para penutur pijin tersebut.


Berkembangnya kreol dari sebuah pijin dengan dua cara yaitu ketika para penutur dari bahasa pijin tersebut berada dalam posisi dimana mereka tidak bisa lagi berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibu mereka masing masing dan ketika sebuah pijin menjadi sangat berguna sebagai lingua franca dan bahkan digunakan oleh orang-orang yang mempunyai bahasa ibu yang sama. Sebagai contohnya adalah para orang tua yang secara ekstensif menggunakan pijin dalam percakapan sehari-hari baik di pasar, kantor, ataupun tempat umum dan bahkan digunakan di dalam rumah. Dari sinilah anak anak mempelajarinya sebagai salah satu bahasa ibu mereka.


Bahasa indonesia adalah bahasa nasional bangsa Indonesia yang tertuang dalam supah pemuda 28 Oktober 1928 dan di sahkan dalam pasal 36, UUD 1945. Bahasa ini diambil dari bahasa Melayu Pustaka atau Melayu Tinggi di Riau.

Untuk meneliti lebih jauh tentang hakikat bahasa Indonesia, penelusuran historis suatu bahasa memiliki peranan yang sangat penting dan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Untuk itulah kita harus membuka kembali sejarah bahasa yang menjadi akar bahasa indonesia yaitu dengan menelusuri perkembangan bahasa Melayu abad ketujuh, zaman Sriwijaya, dan perkembanganya sebagai lingua franca mulai dari pelabuhan-pelabuhan di India sebelah barat sampai ke wilayah Maluku sebelah timur, hingga pada zaman kolonial Belanda.

Menurut fakta yang dikemukakan oleh Kridalaksana (1990); bahwa bahasa Melayu Pustaka atau Melayu tinggi tersebut ketika sebelum diangkat menjadi bahasa Indonesia, bahasa ini sudah melalui standarisasi yang distandarkan oleh Ch. A. Van Ophuijsen, seorang sarjana Belanda. Bahasa Melayu ini sudah digunakan dalam sistem pendidikan di sekolah-sekolah kolonial Belanda dan Ketika diangkat menjadi bahasa Indonesia dalam sumpah pemuda tahun 1928 bahasa Melayu telah merupakan bahasa penuh (full-fledged language) dan menjadi bahasa ibu dari masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera sebelah timur, Riau dan Kalimantan; dan bahasa ini puntelah mempunyai kesusastraan.

Disamping bahasa Melayu yang full-fledged itu terdapat pula variasi lain yang disebut bahasa Melayu Pasar yang digunakan oleh pedagang-pedagang China, dan oleh orang-orang Belanda dalam berbicara dengan orang orang pribumi yang dijajahnya. Bahasa melayu pasar ini jelas merupakan pijin. Terdapat pula sejumlah kreole yang berdasar bahasa Melayu, seperti bahasa Melayu Manado, Melayu Timor, dan Melayu Ambon, yang hingga kini tidak mempunyai kesusastraan. Dialek dialek Melayu yang nonstandar juga tersebar di mana-mana seperti dialek Melayu Langkat, Melayu Deli, dan Melayu Jakarta. Begitu juga dialek-dialek regional yang ada di semenanjung Malaya dan masyarakat bukan Melayu di Indonesia sudah mengenal bahasa Melayu, baik yang berupa bahasa Melayu Pasar maupun yang berupa Melayu Tinggi (=standar) yang diajarkan di sekolah-sekolah.


Secara keseluruhan kalau kita kaitkan antara sejarah bahasa Indonesia dengan gambaran sebuah pijin ataupun kreole, jelas sangat berbeda sekali dan disamping itu bahasa-bahasa pijin dan kreole tersebut tidak memiliki dasar standarisasi, otonomi, historisitas dan vitalitas. Walaupun sebuah kreole mempunya dasar vitalitas. Bahasa Indonesia bukanlah pijin ataupun kreol, karena jelas dalam prosesnya tidak melahirkan bahasa baru. Peranan pijin dan kreole yang berdasarkan bahasa Melayu, dan adanya dialek-dialek regional memudahkan penerimaan, penumbuhan, dan penyebaran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.




Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. And Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Collins. James T. 2009. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama

Sumarsono, 2002. Sosiolinguistik.Yogyakarta; Pustaka Pelajar

Todd, Loreto. 1974. Pidgins and Creloes. London and Boston: Routledge and Kegan Paul.


Wali Band vs Wali Songo ; Fenomena Kebocoran Diglosia

Indonesia adalah sebuah bangsa yang multilingual, di Indonesia terdapat ratusan bahasa-bahasa daerah yang memperkaya khazanah kebahasaan di tanah air, salah satunya bahasa Jawa yang mempunyai jumlah penutur terbesar di Indonesia. Setiap bahasa yang ada di Nusantara ini tentunya sarat dengan kebudayaanya masing-masing seperti cerita legenda, dongen, karya sastra dan bahkan lagu-lagu.

Dahulu, mungkin kita sering mendengar anak anak kecil atau bahkan orang tua kita menyanyikan lagu Sluku-Sluku Bathok untuk kita, lagu dengan bahasa Jawa yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga ini adalah salah satu warisan dari khasanah kebudayaan Jawa yang menjadi salah satu penyumbang keanekaragaman kebudayaan nasional. Jika kita kaji lirik lagu yang menjadi salah satu cara dakwah untuk menyebarkan islam di tanah Jawa oleh Wali Songo ini secara seksama, lagu ini mempunyai pesan-pesan moral yang mendidik dan sebenarnya jauh tidak kalah bagusnya dari pada lagu-lagu musiman dari band-band jaman sekarang.

Lagu tersebut sarat dengan muatan moral dan mengandung nilai estetika yang tinggi serta jauh berbeda sekali bila dibandingkan dengan lagu-lagu pop musiman jaman sekarang seperti Wali Band dan sejenisnya yang sekarang mempengaruhi alam bawah sadar anak-anak Jawa dan lagu-lagu itu jelas kurang mempunyai pesan-pesan yang mendidik. Namun nampaknya nasib lagu Sluku-Sluku Bathok dan lagu berbahasa Jawa lainya kurang begitu mujur di tanah asalnya, sekarang anak anak Jawa lebih fasih menyanyikan lagu-lagu pop semusim seperti Wali band dan band-band serupa dibanding menyanyikan lagu lagu Jawa seperti Sluku-Sluku Bathok apa lagi Macapat. Lagu-lagu berbahasa Jawa kurang begitu mengena di telinga anak-anak sekarang yang setiap hari disuguhi lagu-lagu pop semusim yang diputar di berbagai media seperti radio dan televisi, bahkan mungkin hampir mustahil menemukan koleksi lagu-lagu Jawa di handphone atau di komputer anak-anak Jawa sekarang.

Gejala Kebocoran diglosia

Hilangnya minat anak anak Jawa terhadap lagu-lagu berbahasa Jawa salah satunya disebabkan minimnya kosakata dan penguasaan bahasa jawa. Beberapa anak berusia belasan tahun di Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta yang saya temui umumnya mereka tidak mengenal apa lagi menyanyikan lagu Sluku-Sluku Bathok tersebut. Dari sini kita bisa melihat kemunduran budaya Jawa yang tidak hanya dari menurunya peminat lagu-lagu jawa tetapi juga berkurangnya penutur bahasa Jawa. Yang lebih mengenaskan lagi, masyarakat jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi salah satu pusat dan acuan kebudayaan Jawa di tanah air ini ternyata turut berpatisipasi dalam merontokan penutur bahasa Jawa, sebagian besar orang tua di Yogyakarta yang notabene seratus persen keturunan Jawa sekalipun, sudah tidak lagi mengajarkan bahasa Jawa ke anak-anak mereka sebagai bahasa pergaulan sehari hari di lingkup keluarga, entah dengan alasan gengsi atau nasionalisme mereka hanya mengajarkan bahasa Indonesia yang nantinya juga akan diajarkan di sekolah sebagai bahasa pergaulan di dalam rumah dan banyak pula dijumpai orang tua yang tidak memperbolehkan anak-anaknya berbicara bahasa Jawa sekalipun dengan teman sejawat.

Dalam ilmu linguistik, fenomena kebahasaan seperti ini disebut kebocoran diglosia yang akan membawa pada kematian bahasa tertentu. Peristiwa ini terjadi dimana bahasa yang dianggap kurang berprestise (low) lama kelamaan kalah dan tidak dituturkan lagi karena pengaruh dari bahasa yang lebih superior (high). Pengeritian diglosia itu sendiri menurut Kridalaksana (2003:44) adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi diberi status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, variasi lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan. Menurut Richard dan Schmidt (2002), peristiwa diglosia adalah ketika ada dua bahasa atau variasi-variasi bahasa ada secara berdampingan dalam sebuah komunitas dan masing-masing bahasa digunakan untuk tujuan yang berbeda. Ferguson (1964) juga menambahkan bahwa peristiwa diglosia muncul melalui adanya proses belajar melalui pendidikan formal.

Apabila kita mengacu pada teori diglosia dalam masyarakat yang bilingual, kekhawatiran orang tua Jawa yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya dengan alasan takut nantinya anak-anak mereka dianggap kampungan atau ndeso karena bertutur Jawa sebenarnya kurang beralasan. Bahasa indonesia nantinya dengan sendiri akan mereka kuasai di sekolah dan karena bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa pengantar pendidikan yang diakui secara resmi di negara ini.

Sekarang ini bahasa jawa sudah sudah menunjukan kemunduranya, bukti-bukti yang menunjukan kemunduran tersebut dapat dilihat dari penutur dan aspek-aspek kebudayaanya seperti lunturnya tata krama layaknya orang Jawa. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan beberapa orang tua yang saya kenali di Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta, disimpulkan bahwasanya mereka memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya dengan alasan bahasa Indonesia lebih dianggap berprestise dan tidak terkesan ndeso. Berkaca pada peristiwa di atas, bukan barang yang mustahil lagi jika dua puluh tahun mendatang kita sudah tidak mendengar lagi orang orang berbicara bahasa Krama Inggil yang menjadi salah satu pembeda bahasa Jawa dengan bahasa lain, karena bahasa jawa mempunyai strata-strata sosial berdasarkan siapa yang berbicara, kapan dan kepada siapa berbicara.

Eksistensi bahasa jawa dihadapkan pada permasalah antara gengsi dan nasionalisme. Di satu sisi bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang diakui dan sebagai bahasa persatuan yang digunakan dalam pergaulan nasional untuk mempertahankan kesatuan NKRI, sedangkan bahasa Jawa posisinya sebagai pelengkap atau pendukung dari keanekaragaman budaya Indonesia dan jelas statusnya tidak akan berubah. Namun ini bukan permasalahan merubah status bahasa Jawa sebagai bahasa resmi nasional tetapi bagaimana mempertahankan bahasa Jawa agar tetap berkontribusi dalam memperkaya khasanah kebudayaan nasional, karena justru dengan bertahanya bahasa Jawa di republik ini maka akan menjadikan kebinekaan Indonesia tetap terjaga dengan kuat.

Di mata dunia, Indonesia adalah negara yang besar dan terkenal akan keanekaragaman budayanya. Seandainya bahasa Jawa yang sedang terancam kepunahanya ini sudah tidak diajarkan lagi oleh para orang tua yang mengaku bersuku Jawa kepada anak-anaknya dan tidak lagi dituturkan oleh generasi muda Jawa sekarang, maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan kehilangan salah satu penyumbang yang selama ini cukup banyak berkontribusi dalam kebinekaan Indonesia. Kita seharusnya bangga terhadap apa yang kita miliki dan tidak perlu menangis jika Reog Ponorogo diakui Malaysia. Kalau bukan kita yang menyelamatkan bahasa Jawa, lalu siapa lagi?.

Kesimpulan

Sebagai masyarakat yang cerdas seharusnya kita dapat menempatkan penggunaan bahasa-bahasa tersebut dengan bijaksana. Masing-masing bahasa dalam masyarakat multilingual, memiliki peran, kedudukan dan fungsi yang berbeda (Holmes, 1992:37). Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan dalam ranah kebudayaan dan pergaulan internal sesama suku Jawa, sedangkan bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi antar suku dan penelaahan ilmu pengetahuan serta pemerintahan dalam pergaulan nasional. Dengan kebijaksanaan kita dalam menggunakan bahasa dengan benar tentunya generasi-generasi muda kita akan lebih mengenal kebudayaannya dan kebocoran diglosia yang membawa pada kematian sebuah bahasa tidak akan terjadi di Indonesia dan tanah Jawa pada khusunya.

PERKEMBANGAN KOMPONEN TATA BAHASA INGGRIS (Item, Urutan dan Suprasegmental)

PENGANTAR

Bahasa Inggris merupakan sebuah bahasa yang dinamis, penutur bahasa Inggris menyebar ke seluruh penjuru dunia seiring dengan meluasnya daerah jajahan Inggris (British Colony) yang hampir menapaki kurang lebih seperempat luas bumi. Sehingga tidak mengherankan bahwa bahasa ini menjadi lingua franca bagi bangsa-bangsa di dunia dan banyak yang mempelajari bahasa Inggris sebagai second language bahkan sekarang telah menjadi bahasa internasional. Selain menjadi bahasa internasional, bahasa Iggris juga menjadi bahasa nasional berbagai bangsa seperti: Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Singapura, dsb. Dari penggunaan bahasa inggris tersebut, muncul beberapa variasi bahasa Inggris seperti: American English, British English, Australian English, Singapore English, Black English dan masih banyak lagi variasi yang lainya.

Seiring dengan perkembangan jaman, bahasa Inggris berubah dari bentuk awalnya. Pada mulanya bahasa ini merupakan bahasa kasus yang sama halnya dengan bahasa-bahasa serumpunnya (Indo-Germanic). Namun sekarang, bahasa ini yang telah banyak mengalami penghilangan penanda kasus, sistem numeral, gender, dan infleksi-infleksinya. Seperti yang dikatakan Sapir (1921:pp 147-170) bahwa bahasa itu tidak statis, selalu berubah dan berkembang. Perubahan bahasa dapat meliputi semua aspek, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Perubahan terjadi secara berangsur-angsur. Kebanyakan penutur bahasa tidak sadar bahkan tidak tahu terhadap perubahan yang terjadi, khususnya pada perubahan sistem bunyi dan sistem sintaksis. Perubahan yang secara berangsur-angsur membuat suatu bahasa itu tampak sangat berbeda dari waktu ke waktu. Seperti halnya bahasa Inggris, bahasa ini sudah berturut-turut melewati lima tahapan perubahan, dimulai dari Old-English (OE), Middle English (ME), Early Modern English, Modern English, dan Contemporary English.

Ada dua alasan yang menyebabkan suatu bahasa berubah dari dalam, yang menyebabkan kecenderungan suatu individu untuk mengatur idioleknya kepada seseorang yang dianggapnya teman, dan yang menyebabkan kecenderungan dari sekelompok teman untuk menciptakan inovasi-inovasi dalam bahasa.

Alasan pertama yang menyebabkan perubahan adalah kebutuhan orang untuk mengakrabkan diri dengan orang lain. Pada saat dua orang bertemu dan memutuskan untuk berkomunikasi, pertama-tama mereka cenderung mengatur cara mereka berbicara. Orang A akan berbicara dalam bahasa yang juga dimengerti oleh orang B, dan orang B akan berbicara dalam bahasa yang dipergunakan orang A. Sebagai hasilnya, mereka seringkali menghasilkan percampuran kode, misalnya beberapa dari idiolek penutur A dan beberapa dari penutur B.

Alasan kedua yang mendatangkan perubahan adalah kecenderungan untuk memproduksi atau menciptakan inovasi-inovasi di antara kelompok-kelompoknya. Suatu komunitas menciptakan inovasi-inovasi, antara lain: cara artikulasi baru, pola prosodi baru, kata-kata dan frase-frase baru, dan pola sintaktik baru juga mungkin akan tercipta.


Yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana penghilangan tersebut terjadi? Pertanyaan ini sudah menjadi bahan perdebatan panjang oleh para linguis, untuk melihat proses penghilangan tersebut, marilah kita terlebih dahulu melihat sejarah perkembangan bahasa Inggris. Makalah ini akan membahas fenomena perubahan komponen tata bahasa Inggris dan penghilangan kasus dalam bahasa Inggris yang terjadi akibat dari ketetapan dalam sistim urutan kata.


a. Bahasa Inggris Kuna (Old English)

Banyak linguis yang berpendapat mengenai awal mula sejarah bahasa Inggris dan sebagian besar dari pendapat-pendapat tersebut tidak berbeda jauh satu sama lain, salah satunya adalah Carles F. Meyer (2009) yang berpendapat bahwa BIng diperkirakan muncul kurang lebih pada tahun 400 Masehi, dimulai ketika Romawi mengahiri pendudukanya di Inggris. Setelah hengkangnya tentara Romawi, Inggris dihuni oleh bangsa Romawi yang masih tertinggal, bangsa Celts, dan beberapa varian suku dari bangsa Germanic yang sudah datang selama masa pendudukan Romawi di Inggris. Selang beberpa tahun kemudian, tambahan suku bangsa pendatang dari bangsa Germanic dari Eropa barat dan Skandinavia (Angles, Saxons, dan Jutes) secara berkelanjutan datang ke Inggris menginvasi, menekan bangsa Celts ke utara dan barat dan menggiring mereka ke berbagai tempat seperti Wales dan Skotlandia sekaligus inilah yang menjadikan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa dari rumpun Indo-German. Dalam reinkarnasinya dikenal dengan nama Old Englsih ( atau Anglo-Saxon).

Sebagaimana diketahui, bahasa-bahasa dalam rumpun Indo-German sarat akan penanda kasus sehingga banyak linguist yang mengklasifikasikan sebagian bahasa di Indo-German sebagai bahasa kasus seperti bahasa Jerman yang sampai saat sekarang kasus-kasus tersebut masih terjaga dengan baik. Old English adalah bahasa yang masih tergolong sarat dengan penanda kasus yang merupakan warisan dari Indo-German.


b. Bahasa Inggris Pertengahan (Middle English)

Pada tahun 1066 hingga awal 1400, Inggris jatuh ke tangan bangsa Norman, Prancis. Selama lebih dari 300 tahun penaklukan Prancis atas Inggris tersebut menjadi sebuah peristiwa sejarah yang sangat berarti bagi sejarah perkembangan bahasa Inggris. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi perubahan dari Old English menuju Middle English. Pada periode tersebut, bangsa Inggris menggunakan variasi dari bahasa Prancis yang di namakan Anglo-Norman. Pada zaman itu terdapat dua perubahan yang signifikan terhadap bahasa Inggris yang telah membawa perdebatan tentang seberapa besar pengaruh Penaklukan Prancis dalam mempengaruhi bahasa Inggris; banyak leksikon dalam bahasa Prancis terserap ke dalam bahasa Inggris dan berlanjut sampai pada penghilangan beberapa infleksional afiks yang terdapat pada Old English.


c. Awal Bahasa Inggris Modern (Early Modern English)

Transisi dari Middle English ke Modern English tidak secara jelas ditandai oleh suatu kejadian atau waktu yang jelas tetapi secara tegas ditandai oleh peristiwa linguistik: The Great Vowel Shift, Pergeseran ini mengakibatkan munculnya diftong yang berasal dari vokal yang mengalami penekanan (stressing). Misalnya, dalam Middle English vokal pertama pada kata swete akan diucapkan /ei/ (mirip dengan vokal pertama dalam kata race dalam Modern English). Dalam Modern English, /ei/ dinaikan menjadi /i/. Dengan demikian, kita menemukan kata pengucapan /i/ dalam Modern English pada kata sweet.

A. Prinsip yang Mencakup Perubahan Tata Bahasa

Menurut Poedjosoedarmo (1990) dalam filasafat bahasa, tata bahasa muncul demi sebuah tujuan. Fungsi dari semua aturan-aturan dalam sebuah tata bahasa adalah untuk membuat bahasa itu jelas dan padat. Kemunculan tata bahasa dalam sebuah bahasa dapat dikaidahkan dengan cara yang efisien dan dapat dipahami secara jelas. Sejalan dengan prinsip itu, hal-hal yang bertentangan dengan tata bahasa akan dihilangkan. Dengan kata lain, hal-hal yang hilang akan ditambahkan.

Ada tiga komponen dalam tata bahasa: item, susunan, dan suprasegmental. Ketiga komponen itu berjalan secara kooperatif untuk memproduksi tata bahasa. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi untuk mencipatakan aturan-aturan yang akan berfungsi untuk mengkaidahkan bahasa dengan jelas tetapi tetap efisien. Jika salah satu komponen berubah, maka dua komponen yang lain akan beradaptasi sehingga bahasa bisa dikaidahkan dengan efisien, dan masih jelas. Dengan kata lain, setiap salah satu berubah dua komponen lain akan bereaksi untuk beradaptasi sehingga tata bahasa tersebut tetap efisien, dan jelas dan singkat.

Yang dimaksud dengan item adalah elemen linguistik, seperti kata, partikel, atau afiks. Hal itu bisa berupa kata inti (nomina, verba, ajektiva, adverbia, dan numeralia) atau sebuah kata gramatika (preposisi, konjungsi, artikel, dan partikel), hal itu dapat juga berupa bentuk terikat, seperti prefiks, infiks, atau sufiks.

Yang dimaksud dengan susunan adalah suatu sistem aturan-aturan untuk susunan kata-kata atau frase-frase atau klausa-klausa atau afiks-afiks dalam kalimat. Hal itu merupakan sebuah sistem aturan-aturan yang mengatur urutan kata: item apa yang muncul sebelum sesuatu dan elemen yang mana muncul setelah sesuatu. Hal ini merupakan sebuah sistem aturan-aturan untuk susunan kata, susunan frase, susunan klausa, susunan afiks, dan semacamnya.

Yang dimaksud dengan istilah suprasegmental adalah aturan-aturan sintaktik untuk pola-pola intonasi, tekanan, cara ucap (manner of articulation), pemanjangan, jeda, dan tinggi nada.

B. Perubahan-perubahan yang Berantai dan Beragam

Memperhatikan cara bagaimana perubahan-perubahan berkembang dalam bahasa Inggris kuna menjadi bahasa Inggris Modern, hipotesis berikut disarankan.

Pertama-tama, hal ini dihipotesiskan bahwa dengan mengesampingkan suatu perubahan biasa oleh sebuah elemen, beberapa perubahan-perubahan yang beragam juga muncul. Ada beberapa elemen yang diubah, dan perubahan memengaruhi beberapa perubahan pada beberapa elemen gramatikal.

Kedua, hal ini dihipotesiskan bahwa beberapa perubahan berantai juga terjadi. Ada sebuah elemen yang berubah dan perubahan itu disebabkan beberapa elemen-elemen lain untuk mengubah untuk menyesuaikan pada suatu prinsip sintaksis, dan perubahan-perubahan itu telah diikuti dengan perubahan-perubahan lain.

Dengan kata lain, ada sebuah aspek tertentu dari bahasa tersebut yang menjadi penggerak utama yang mengakibatkan perubahan itu, dan penggerak utama ini memengaruhi beberapa elemen lainnya untuk ikut berubah. Sebagai akibatnya elemen-elemen lain yang ikut berubah membentuk beberapa penyesuaian sehingga menimbulkan perubahan yang beragam dalam elemen yang sama.

Hipotesis ini diajukan karena dalam suatu kurun waktu tertentu sebagaimana telah dialami oleh perkembangan dialek, bahasa Inggris berubah menjadi berbeda dengan bahasa-bahasa dalam rumpun Indo-German dalam banyak hal. Selain itu, perubahan yang terjadi tidak hanya dibatasi pada sebuah elemen bahasa saja melainkan juga mengikutsertakan sistem fonologinya (munculnya fonem baru dan adanya pola intonasi tertentu), urutan frase atau kata, dan item morfosintaksisnya. Perubahan secara beruntun itu terjadi supaya tata bahasanya tetap menjadi sistem gramatika yang efisien

Lebih lanjut, dengan menelaah perbedaan (atau perubahan) dalam tiap-tiap komponen gramatikal seseorang dapat melihat bahwa jumlah perubahannya tidak setara. Pada sistem suprasegmentalnya perubahan yang terjadi terbatas jumlahnya, pada tataran urutan atau pengaturan perubahan yang terjadi sedikit lebih banyak, dan pada tataran item perubahannya banyak sekali.

C. Tiga Kemungkinan Penggerak Utama

Ada tiga kemungkinan penggerak utama pada perubahan sintaksis yang dapat terpikirkan. Merujuk pada komponen dasar sebuah kalimat, penggerak utama dapat berupa: 1) butir, 2) urutan kata, atau 3) intonasi (suprasegmental).

1) Perubahan Butir

Pendekatan yang lebih efisien dalam meneliti penghilangan kasus dalam bahasa Inggris adalah dengan melihat perubahan item linguistiknya. Kasus merupakan bagian dari item linguistik.

  • Kasus

Kasus adalah kategori gramatikal dari nomina, frase nomina, pronomina, atau ajetiva yang memperlihatkan hubungan dengan kata lain dalam konstruksi sintaksis (Kridalaksana, 2001:96). Hampir senada dengan pendapat Kridalaksana, Blake (2004) menambahkan bahwa kasus adalah sebuah sistem penandaan dependent noun terhadap jenis hubunganya dengan intinya. Secara tradisional, istilah ini mengacu pada penanda infleksional, dan secara tipikal, kasus menandai hubungan nomina dengan verba dalam tingkatan klausa atau nomina dengan preposisi, posposisi atau nomina yang lain dalam tingkatan frase. Dalam bahasa Indo-German umumnya terdapat beberapa seperti akusativ, dativ, genetiv, dan nominativ.

  • Contoh Kasus dalam Old English

Bahasa Inggris pada masa OE adalah murni sebuah vernakular yang hanya mempunyai bentuk lisan saja, bentuk tulis dari OE hanya digunakan oleh para biarawan di biara untuk menyebarkan agama Kristen. Berikut adalah kutipan bentuk tulis OE yang diambil dari sebuah doa “The Lord’s Prayer” untuk melihat fitur gramatikal dalam OE secara lebih jelas.


“The Lord’s Prayer” Matthew 6:9–13.

1 Fæder ure þu þe eart on heofonum;

Father our thou that art in heavens

2 Si þin nama gehalgod

be thy name hallowed

3 to becume þin rice

come thy kingdom

4 gewurþe Din willa

be-done thy will

5 on eorDan swa swa on heofonum

on earth as in heavens

6 urne gedæghwamlican hlaf syle us todæg

our daily bread give us today

7 and forgyf us ure gyltas

and forgive us our sins

8 swa swa we forgyfaD urum gyltendum

as we forgive those-who-have-sinned-against-us

9 and ne gelæd þu us on costnunge

and not lead thou us into temptation

10 ac alys us of yfele soþlice

but deliver us from evil. truly.


(diadopsi dari Dan Kies, “Cuneiform and Distance Learning”:

papyr.com/hypertextbooks/cuneifrm.htm, diakses pada 22 April 2010)


Doa tersebut menggambarkan beberapa perbedaan yang jelas antara OE dan BIng yang lainya. Sebagai contohnya, terdapat beberapa kata nominal (N) yang mengandung infleksi penanda kasus (K), numeral (Num), dan gender (G). Pada bait pertama (1), –um dalam herofonum menandai N tersebut sebagai maskulin, dativ, dan jamak.; dalam bait (5) –an dalam eorDan menandai N sebagai feminin, akusativ dan tunggal. Bait (1) dan (2) memuat dua bentuk dari verba be. Dalam Mod E, di semua semua irregular verb (strong verb), be mempunyai bentuk yang paling berbeda (contohnya; is, are, was, dsb.). Dalam O.E, be bahkan mempunyai bentuk-bentuk yang lebih berbeda lagi. Bait (2), Si adalah bentuk verba subjunctive (pengandaian). Dalam Mod.E, bentuk-bentuk subjunctive dari be dapat ditemukan dalam hypothetical clauses seperti if I were you untuk menandai kebalikan dari fakta. Dalam O.E, Si adalah sebuah bentuk dari subjunctive yang mengungkapkan sebuah keinginan atau harapan. Penanda kasus berikutnya yang dapat ditemukan dalam O.E di atas adalah prefiks ge- pada gehalgod pada bait (2) yang berfungsi untuk menandai participle yang mengikuti auxiliary verb (have atau had) seperti dalam have driven atau had eaten.

  • Contoh Kasus dalam Bahasa Inggris Modern yang Masih Dipertahankan

Jika dalam sebuah bahasa tiga frase nomina (NP) (subyek, objek langsung dan objek tak langsung) dapat berdiri satu sama lain tanpa harus memperdulikan frase verba biasanya memerlukan penanda kasus untuk menandai fungsinya. Penanda kasus dibutuhkan ketika dalam kalimat terdapat urutan kata yang bebas. Penanda kasus tersebut biasanya berupa afiksasi morfologis. Dalam bahasa-bahasa yang mempunyai sistem kasus, terdapat preposisi ataupun postposisi yang berbentuk afiksasi. Sedangkan dalam bahasa Inggris preposisi merupakan sebuah kata depan yang berdiri dengan bebas. E.g. where did she give it to? . Bahasa Inggris masih sedikit mempertahankan beberapa kasus seperti penggunaan pronomina seperti him, her, me, dan them. Maka dari itu kita tidak bisa mengatakan she kills he atau her kills he.

  • Hilangnya Beberapa Strong Verb

Sebagian besar bentuk strong verb dalam Old English sepertinya telah luntur pada awal periode Middle English. Dalam kasus tertentu sekitar sembilan puluh dari strong verb tersebut telah menghilang tanpa bukti tertulis setelah tahun 1150. Beberapa dari strong verb itu telah digunakan dalam kurun waktu tertentu dalam bentuk lisan, tetapi dengan catatan di mana terkadang verb bertahan dalam dialek modern, verb tersebut tidak tercatat. Beberapa sangat jarang dalam Old English dan lainya sedang dalam persaingan dengan weak verb pada kesamaan derivasi dan makna. Pada masa Old English, sebagian besar verb cenderung lebih pendek sehingga sangat memungkinkan untuk berpindah posisi dalam kalaimat. Namun, sekarang dalam Modern English bentuk verb tersebut cenderung lebih panjang dan kemungkinan untuk berpindah-pindah posisi dalam kalimat lebih terbatas yang disebabkan oleh keajegan urutan kata dalam bahasa Inggris.

  • Strong verb yang menjadi weak verb

Dasar analogi dari kecenderungan bahasa untuk mengikuti susunan tertentu dan menyesuaikan bentuk yang kurang umum ke bentuk yang lebih lazim. Konjugasi yang terdapat dalam weak verb memberikan sebuah susunan yang tetap untuk past tense dan past participle, sebaliknya, terdapat banyak variasi dalam perbedaan kelas dalam strong verb.

Contoh:

Sing – sang – sung

Drive – drove – driven

Fall – fell – fallen

Pada waktu itu Bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan oleh orang-orang kaum bawah dan sangat jauh sekali dari pengaruh pendidikan dan literatur standar, wajar saja ketika pada waktu itu penutur boleh jadi salah menerpapkan susunan weak verb yang seharusnya strong verb. Dalam Old English banyak terdapat banyak sekali strong verb yang sangat bervariasi, sehingga terkadang terjadi salah penggunaan oleh penutur yang tidak berpendidikan,karena bahasa Inggris pada waktu itu bukan bahasa resmi yang ditetapkan pemerintah, setelah kaum bangsawan Inggris kembali menggunakan bahasa Inggris, beberapa kata serapan dari bahasa Prancis yang umumya berbeda dengan bahasa Inggris (cenderung panjang) kemudian disesuaikan dengan sistem fonetik bahasa Inggris sehingga terdapat beberapa kata yang panjang. Bertolak dari alasan tersebut, maka diperlukan bentuk sufiks –ed untuk menyamakan bentuk past dan participle pada kata serapan yang umumnya panjang tersebut. Sekali lagi pendapat ini juga perlu dukungan alasan yang lebih kuat lagi.

Baugh (1963) memberikan pendapat yang sedikit berbeda mengenai hal tersebut, dia berpendapat bahwa strong verbs, yang berwujud past dan participle oleh sebuah perubahan vokal, lebih dominan dalam masa Chaucer, tetapi sejak adanya kecenderungan untuk menggunakan afiks pada weak verb. Strong verbs lebih pendek dari weak verbs, yang berarti lebih mudah untuk berpindah pindah, dan lebih cocok dalam sebuah sintaktis yang bebas dari urutan kata. Ketika urutan kata sudah tetap, kebutuhan untuk mempunyai komposisi frase yang padat tidak sepenting sebelumnya, dan oleh karenanya pilihan lebih cenderung kepada penggunaan weak verbs.

  • Memudarnya Sistem Gender dalam Bahasa Inggris

Ketika infleksi dari beberapa kata-kata pembeda gender tersebut berkurang dan beralih pada akhiran tunggal ajektiva dan bentuk demonstratif yang sudah tetap (the, this, these, that, dan those), maka bentuk-bentuk penanda gramatis gender tersebut dihilangkan. Metode yang digunakan sekarang dalam menentukan gender tidak serta merta muncul begitu saja pada periode Middle English. Pengenalan sex gender yang ada pada akar alamiah gender yang ada dalam Old English ditandai dengan kecenderungan menggunakan personal pronouns menurut natural gender, bahkan ketika penggunaan itu melibatkan pertentangan dengan gramatikal gender yang mendahului kata pengganti. Penggunaan personal pronoun merupakan indikasi yang jelas untuk merasakan natural gender bahkan ketika gramatikal gender dalam penekanan. Dengan menghilangnya gramatikal gender, gagasan tentang seks menjadi faktor satu-satunya faktor yang menentukan gender dari nomina bahasa Inggris.

O.E. mempunyai afiks infleksi yang menandai gender: masculin, feminine dan neuter. Akan tetapi Dalam Mod. E, afiks gender sudah menghilang, kecuali untuk beberapa sisa seperti prince-princess, emperor-empress, tiger-tigress, hero-heroine, dan juga untuk pronomina orang ketiga tunggal (he, she, it). Pronomina diharapkan masih dibutuhkan untuk memfasilitasi kohesi di antara kalimat-kalimat di dalam paragraf dari sebuah wacana, dan afiks yang tersisa –ess dan –ine masih digunakan khususnya dalam gaya bahasa sastra untuk menandai pentingnya kiasan.

  • Penanda Jamak

Afiksasi pada gender pada Modern English secara umum telah memudar. Akan tetapi afiks jamak masih produktif, walaupun sudah disederhanakan atau dibuat teratur (i.e. –s, -en). Dengan urutan kata yang sudah diperbaiki, kita berharap bahwa afiks jamak seharusnya dihapus saja dari penggunaannya. Tetapi penanda nomina masih produktif. Afiks jamak masih dipertahankan oleh tata bahasa karena itu masih mempunyai fungsi. Sebagai tambahan untuk menandai nomina dari kata benda, baik tunggal maupun jamak, afiks-afiks tersebut juga menandai ciri dari katabenda. Tanpa afiks jamak, kata benda akan sering terjadi salah tafsir sebagai ajektiva atau jenis kata lainya.

Maka dari itu, dapat dikatakan, bahwa tata bahasa dibutuhkan untuk memperjelas fungsi kata dalam kalimat. Viz. Sebagai subyek atau obyek dan juga untuk mencirikan kata yang digunakan dalam kalimat (viz. Sebagai kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan). Untuk menghasilkan kalimat yang jelas, grammar juga harus dengan jelas membedakan ciri dari masing-masing jenis kata. Grammar harus menciptakan kalimat yang singkat tetapi juga jelas. Dalam kasus bahasa Inggris, afiks infleksi dibutuhkan untuk membuat kejelasan ciri dan fungsi dari kata dalam kalimat. Kecenderungan dari afiks infleksi yang menghilang ketika urutan kata diperbaharui dan dihentikan oleh kebutuhan untuk memperjelas perbedaan di antara jenis-jenis kata.


2) Perubahan pada Urutan Kata atau Urutan Frase

Perubahan urutan kata dalam bahasa Inggris mungkin dapat menjelaskan pemudaran kasus yang terdapat dalam bahasa Inggris seperti :

  • Perubahan dari urutan kata yang bebas menjadi tetap SVO

Dalam bahasa yang cenderung bebas urutan katanya menandakan Np dan Vp dapat berpindah pindah serta dapat ditempatkan ke dalam posisi apapun di dalam kalimat. Hal tersebut dapat terjadi tanpa mengalami kebingungan dalam menentukan fungsi dalam kalimat karena mereka sudah mempunyai pembeda yang jelas. Pembeda-pembeda tersebut adalah berupa afiksasi morfologi. Sebagai contoh dalam masalah ini kita bandingkan bahasa Jerman dan bahasa inggris

I bought my wife a bike [Eng] I bought a bike for my wife [Eng]

Ich kaufe meiner Frau ein Rad. [Ger] Ein Rad kaufe ich meiner Frau [Ger]


I sent my parents a letter [Eng] I sent a letter to my parents [Eng]

Ich sende meinen Eltern einen Brief [Ger] Einen Brief sende ich meinen Eltern [Ger]


Sangat jelas terlihat, bahasa Inggris memerlukan preposisi untuk menandai fungsi, sedangkan bahasa Jerman tidak memerlukan preposisi karena mempunyai penanda kasus yang jelas mengenai kedua jenis objek di atas (akusatif dan datif). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam bahasa-bahasa yang mempunyai sistem kasus, terdapat preposisi ataupun postposisi yang berbentuk afiksasi. Sedangkan dalam bahasa Inggris preposisi merupakan sebuah kata depan yang berdiri dengan bebas.

  • Preposisi dan Urutan Kata (NP) dalam bahasa Inggris

Penemuan statistik dari Greenberg (1966) dan Hawkins (1983) menunjukan bahwa dalam sebuah bahasa SVO, preposisi harus berlaku, dan urutan dari sebuah Np harus menjadi NA dan NGen dari pada AN dan GenA. English membuat penggunaan preposisi dari pada posposisi, tetapi mengapa begitu dalam Np dengan induk (N) mempunyai urutan yang terbalik. Dalam sebuah Np, modifier mendahului N dari pada kebalikanya. Apa Yang mejaga ajektiv dan genetif agar tidak ada perpindahan dari posisi depan ke belakang.

Kita belum mempunyai jawaban yang pasti. Mungkin itu karena penggunaan artikel seperti penanda Np. Dalam English, Np biasanya ditandai oleh the, a, an, atau dari genetif my, your, his,, etc. Dalam O.E. fungsi dari artikel tidak hanya untuk menandai kasus, tetapi juga untuk menandai Np. Rupanya, penandaan kasus telah meluntur, tetapi penandaan Np masih berlaku. Artikel masih dibutuhkan untuk menandai awal dari Np. Dari sinilah kita bisa berpendapat bahwa kemunculan dari frase genetif dengan N of N adalah mungkin sebuah awal dari penyimpangan untuk Ngen, yang akan diikuti oleh NA.

  • Kemunculan N dari N

Perkembangan yang menarik sejak Middle English adalah cara baru mengindikasi kepemilikan of. Sebagai hasilnya, Modern English mempunyai dua arti dalam menunjukan kepemilikan, menggunakan ‘s dan of. Dalam Old English dan Middle English model yang lebih panjang dengan of sudah tidak ada lagi. Itu menjadi mungkin hanya ketika urutan kata seraca relatif tetap, dan Vp dan Np tidak harus padat. Beperapa orang berpendapat bahwa kemunculan N dari N itu adalah hasil dari pengaruh bahasa Perancis.

  • Munculnya Penanda Kala

Jika dibandingkan dengan bahasa Jerman, yang relatif lebih bebas dalam urutan kata, Modern English mempunyai relatifitas dalam urutan kata yang ditetapkan, SVO. Tetapi Old English merupakan sebuah bahasa yang berinfleksi dengan tiga gender dan empat kasus dalam kata benda, dan kasus kelima adalah untuk beberapa Pronouns dan ajektiva (Grebanier, 1948). Dalam Modern English Penanda kasus yang jelas dan penanda gender telah berkurang. Menurut hipotesis, bahasa Inggris seharusnya masih membutuhkan penanda-penanda tersebut baik itu sebagai penanda kasus maupun afiks infeksi. Penanda kasus dalam bahasa inggris telah memudar tetapi penanda kala masih digunakan walaupun penanda itu telah disederhanakan atau disamakan dibandingkan dengan Old English dan Middle English. Apa yang seharusnya menjaga tenses markers dari perubahan itu? Penanda kala masih dibutuhkan karena mempunyai fungsi, sebenarnya, penanda kala mempunyai fungsi ganda dalam bahasa Inggris. Pertama, mengindikasi waktu perbuatan kata kerja. Kedua, penanda kala dibutuhkan untuk menandai ciri dari kata kerja. Tanpa tenses marker sebuah kata kerja bahasa Inggris akan terlihat sama dengan adverb ataupun kata benda. Tanpa tenses marker (-ed), kita akan menemukan kesulitan dalam mengidentifikasi sebuah verb dari jenis-jenis kata lainya.

  • Ketegasan Frase

Sebuah bahasa yang bebas dari urutan kata cenderung mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam memproduksi frase yang tegas. Sebagai contoh, bahasa Jerman sering menggunakan kata yang lebih spesifik dari pasa bahasa Inggris untuk mewakili konsep tertentu. Contoh di bawah ini dipaparkan oleh Hawkins (1986).

Englsih German

To know kennen, wisses, koenen

To leave lasses, verlassen, ueberlasses, abreisen, abfahren, gehen

To put stellen, legen, setzen

Penggunaan kata-kata yang lebih spesifik di dalam sebuah bahasa yang bebas urutan katanya sepertinya senada dengan kebutuhanya akan frase yang padat. Kata-kata yang spesifik tidak membutuhkan modifiers atau qualifiers untuk memperjelas. Di satu sisi, kata-kata dengan referensi semantik yang lebih luas selanjutnya akan membutuhkan modifiers mengacu pada makna yang spesifik. Karenanya, English menoleransi kata-kata umum tersebut, karena tidak perlu mempunyai frase yang terlalu padat.

Di samping itu, bahasa Jerman dengan jelas membedakan antara compound word dan sebuah frase. A Np dalam bahasa Jerman menjadikan penggunaan afiks infleksi untuk menghubungkan antara modifier dan noun modified, sedangkan sebuah compound tidak dapat melakukanya. Dalam bahasa Jerman sebuah compound noun dibentuk dengan menggabungkan modifiers dan noun, dan ditulis dalam sebuah kata, bahkan jika sedikit panjang sekalipun. Berikut ini adalah contoh dalam bahasa Jerman.


GERMAN PHRASE

Nominative der gute Wein

Accusative den guten Wein

Dative dem guten Wein

Genetive des guten Wein

ENGLISH

Phrase Compound Word

white ‘house ‘White House

hot ‘dog ‘hot dog

‘foot ‘ball ‘foot ball


GERMAN

Compound word weis + Haut Weishaut

Phrase weis + Haut wieser Haut

Compound word weis + Haus Weishaus

Phrase weis + Haus weises Haus

Dalam hal ini, bahasa Inggris tidak menggunakan afiksasi untuk membedakan frase dengan kata majemuk. Bahasa Inggris juga tidak mempunyai afiks infleksi untuk membuat frase tetapi mengguanak fitur prosodi untuk membedakan keduanya.


3. Perubahan Intonasi (Suprasegmental)

Bahasa Inggris sangat mementingkan penekanan kata dan kalimatnya. Dalam English setiap kata mengandung satu penekanan yang kuat, dan setiap kalimat mempunyai satu penekanan (sentence stress). Jika kata itu terdiri dari satu suku kata, maka kata itu mempunyai penekanan. tetapi jika dua suku kata, satu suku kata mempunyai penekanan kuat dan yang lainnya lemah. Terkadang penekanan kata digunakan untuk membedakan antara kelas kata benda dan kata kerja. Jika penekanan jatuh pada suku kata pertama, kata itu adalah kata benda. Jika penekanan jatuh pada suku kata kedua, kata itu adalah kata kerja. Contohnya, ‘export vs ex’port, ‘import vs im’port. Kita dapat mengatakan penekanan itu adalah fonemik. Dalam sebuah kalimat penekanan kalimat dapat merubah informasi atau fokus dalam kalimat tersebut. Penekanan kuat jatuh pada informasi baru. Penekanan yang kuat mengindikasi fokus perhatian dalam kalimat.

Contoh :

1. How did you like the movie?

a. It was pretty good. (she liked it.)

b. It was pretty good. (she didn’t like it much.)


Menurut Poejosoedarmo (tt) bahwa kemunculan status penekanan kata berhubungan erat dengan yang dinamakan “great vowel shift”, hilangnya akhiran –e dalam beberapa kata, hilangnya beberapa konsonan dalam beberapa kata lainya, dan aspirasi dari fonem /p/, /t/, /k/. Kemunculan penekanan kuat yang signifikan sering mengakibatkan kualitas vokal dan juga bentuk fonemik dari kata. Sebagai bandingannya, dalam diptongisasi vokal Minangkabau dalam sukukata akhir juga muncul bersamaan dengan penerapan strong stress dalam sukukata. Contohnya, Malay kampuᵑ ‘village’ telah menjadi Minangkabau Kampuaᵑ, Malay kambiᵑ ‘goat’ telah menjadi Minangkabau kambiaᵑ. Diptongisasi juga muncul dalam beberapa bahasa, e.g. dalam Serawai di Sumatera, Iban dan Belait di Kalimantan. Dalam semua bahasa bahasa tersebut, diptongisasi sepertinya berhubungan dengan pengambilan dari sebuah strong stress.

Berikut ini adalah sebauh gambaran perubahan dari beberapa English vowels menjadi diptong yang dijabarkan oleh Henry Alexander (1962): yang panjang [i:] in M.E adalah [ai] in Mod.E. dan yang panjang [u:] in M.E adalah [au] dalam Mod.E.


M.E myn thyn ride(n) rise(n) tid bite

Mod.E mine thine ride rise tide bite


M.E hous cou thousand aboute mouth

Mod.E house cow thousand about mouth


Perubahan dari [i:] panjang menjadi [ai] dan [u:] menjadi [au] mengakibatkan pengucapan dari beberapa vokal lainya, dan karena “great vowel shift”. Sebagai contohnya M.E. [e] menjadi Mod.E [i:], M.E [o] menjadi Mod.E [u:], M.E [a-e] menjadi Mod.E [ei], M.E [aw] menjadi Mod.E [ou].


M.E feet teeth mete(n) rede(n) bete(n) lede(n)

Mod.E feet teeth meet read beat lead


M.E sone foot doom god(e)

Mod.E soon foot doom good


M.E name take

Mod.E name take


M.E ook hoom stoon hope

Mod.E oak home stone hope.


Pengambilan dari strong word stress juga berakibat pada hilangnya beberapa sounds, beberapa awalan kata (k-, g-, p-), dan beberapa pada akhir kata (-e, -b). Sebagai contohnya –e dihilangkan

(mute) dalam kata Mod.E berikut ini


Mod.E M.E (Chaucer)

Star stere

Dark derke

Heart herte

Starve sterve

War werre


Konsonan k-, g-, w- telah dihilangkan dalam beberapa kata seperti know, knight, knee, gnat, gnaw, wrong, wry, wright. Dan akhir –b dan –g telah dihilangkan pada akhir deret konsonan dalam kata-kata seperti bomb, wright, night, nought, debt. Bomb, comb.

Pengambilan strong word stress dalam English sepertinya mempunyai akibat yang berlipat ganda. Itu tidak hanya menghasilkan kemunculan dari beberapa diptong, tetapi juga dalam kemunculan beberapa vowel dan sebagai konsekuensinya, dalam kemunculan dari beberpan monosyllabic words. Di samping itu, diptong baru dan monosyllabic words muncul dengan mengorbankan hilangnya bunyi akhir –e dan hilangnya inisial konsonan k- dan g- dalam beberapa kata, dan hilangnya final consonan dalam beberapa consonant cluster. Lebih jauh, seperti contoh dalam Chinese, pengambilan dari strong word stress juga telah memberikan dampak voiceless plosive sounds /p/, /t/, /k/ strogn aspiration (Yip P-Ching and Rimmington, 1972:2).

Jika diperhatikan bahwa pola intonasi tidak hanya berkaitan dengan pola urutan frasa, tetapi juga mempengaruhi pola prosodi kata, maka kiranya tidak salah kalau diambil kesimpulan bahwa pola intonasilah yang mempengaruhi pola urutan. Kalau dikatakan sebaliknya, yaitu pola urutan frasa yang mempengaruhi pola intonasi, maka sulitlah untuk menjelaskan adanya perubahan serentak yang ada pada sistem fonologi. Apa lagi kalau diingat bahwa perbedaan antara dialek-diaiek pertama-tama ialah pada pola intonasinya, maka kesimpulan ini kiranya betul.

intonasi



Prosodi Kata Urutan Frasa

KESIMPULAN

Kesimpulanya adalah bahwa perkembangan perubahan komponen-komponen tata bahasa yang dialami oleh bahasa Inggris dihipotesiskan sebagai berikut: Hilangnya penanda kasus diakibatkan oleh ketetapan pola urutan kata dalam bahasa Inggris, dalam bahasa-bahasa yang mempunyai sistem kasus, terdapat preposisi ataupun postposisi yang berbentuk afiksasi, sedangkan dalam bahasa Inggris preposisi merupakan sebuah kata depan yang berdiri dengan bebas. Bahasa Inggris juga tidak mempunyai afiks infleksi untuk membuat frase tetapi mengguanak fitur prosodi untuk membedakan keduanya. munculnya penekanan pada kata dalam bahasa Inggris dapat digunakan sebagai pembeda jenis kata, sedangkan munculnya penekanan pada kata tertentu di dalam kalimat menandakan fokus perhatian dalam kalimat. Munculnya penekanan (Stressing) dalam bahasa Inggris Juga mengakibatkan beberapa vokal menjadi diftong.